Cerita Pemilik Warung Madura Hadapi Pungli Ormas yang Meresahkan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pedagang kecil atau pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengaku resah atas aksi premanisme atau pungutan liar (pungli) yang masih kerap terjadi hingga saat ini....

Cerita Pemilik Warung Madura Hadapi Pungli Ormas yang Meresahkan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pedagang kecil atau pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengaku resah atas aksi premanisme atau pungutan liar (pungli) yang masih kerap terjadi hingga saat ini. Pungli-pungli tersebut dilakoni oleh para anggota organisasi masyarakat (ormas). 

Abdul Hamied, salah satu pemilik menceritakan keresahannya. Menurut penuturannya, sebetulnya aksi yang dilakukan oleh para paling banyak dialami oleh para pedagang kaki lima atau UMKM. Dirinya pun mengaku menjadi salah satu korban aksi pungli tersebut. 

“Premanisme itu ada. Warung saya di daerah Cinangka (Depok) sempat didatangi beberapa ormas, biasanya di Jabodetabek bersentuhannya dengan ormas-ormas lokal yang gaya-gayanya preman,” kata Hamied saat dihubungi Republika, Rabu (12/2/2025). 

Hamied mengungkapkan bahwa pungli yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut berkedok iuran keamanan atau pembinaan. Mereka mengaku sebagai ‘pemuda sini’ atau ‘masyarakat sini’ yang menyebut akan mengamankan kegiatan bisnis warungnya. Ada sejumlah uang yang kerap diminta oleh para pelaku. Dalam prakteknya, para pelaku kadangkala menggunakan seragam ormas dan membawa surat lengkap dengan kop atau logo ormasnya.

“Biasanya mereka minta iuran paksa rutin bulanan. Iuran paksa atas nama ormas, bilangnya pembinaan segala macam. Pertama saya okein karena mintanya Rp 50 ribu (per bulan), tapi lama-lama mereka naikin minta jadi Rp 100 ribu—Rp 200 ribu,” ungkapnya. 

Berdasarkan pengalamannya itu, Hamied mengaku dirinya melakukan perlawanan ketika pelaku meminta iuran yang lebih tinggi. Ia tak segan-segan mengajak pelaku pungli untuk berduel. 

“Kalau kayak gitu (menaikkan iuran), saya bilang ‘ya sudah kita bertarung saja’ karena itu sama saja dengan mengurangi keuntungan. Dan saya marahin waktu itu. Karena bukan saya saja juga, di depan warung saya ada pedagang gorengan yang merasa diperas dengan kewajiban-kewajiban seperti itu,” ceritanya.  

Hamied mengaku melakukan perlawanan verbal atau berdebat. Menurut penuturannya, para pelaku pungli tersebut kerap berdalih bahwa uang iuran keamanan atau pembinaan tidak lain akan mengalir pula manfaatnya kepada masyarakat. Terlebih para pelaku pungli itu tahu bahwa Hamied merupakan seorang pendatang. 

Hamied pun makin bersuara dengan menyatakan bahwa, memang ia seorang pendatang, tetapi telah rutin membayarkan sejumlah iuran yang wajib. Misalnya, iuran resmi atas kegiatan RT/RW setempat, lalu iuran untuk kegiatan kemasyarakatan atau keagamaan. Ia pun mengatakan, tanpa diminta, ketika ada acara keagamaan di masjid/ mushala, ia kerap berinisiatif mengirimkan beberapa dus air mineral sebagai bentuk dukungan terhadap kegiatan di wilayah setempat. 

 

Loading...