HPN 2025, Ini Sejarah Ringkas Pers di Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah perjalanan pers di Tanah Air dimulai jauh sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pada pertengahan abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda menggunakan media cetak untuk kepentingan iklan produk-produk...
![HPN 2025, Ini Sejarah Ringkas Pers di Indonesia](https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/ilustrasi-koran-medan-prijaji-ini-sejarah-ringkas-pers-di_250209064849-828.jpg)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah perjalanan pers di Tanah Air dimulai jauh sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pada pertengahan abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda menggunakan media cetak untuk kepentingan iklan produk-produk dari perusahaan Belanda kepada orang-orang Eropa yang berada di Indonesia. Surat kabar tersebut antara lain bernama Bataviase Nouvelles, yang terbit pada 8 Agustus 1744 hingga 20 Juni 1746.
Kemudian, pemerintah kolonial menerbitkan surat kabarnya sendiri dengan nama Bataviasche Koloniale Courant. Koran ini hanya bertahan selama satu tahun. Media ini terbit perdana pada 15 Januari 1810 dan berakhir pada 18 Januari 1811.
Setelah itu, Bataviasche Courant kembali hidup pada 20 Agustus 1816 digantikan dengan Government Gazette, yang kembali berubah nama menjadi Javasche Courant pada 1828.
Pada 25 Januari 1855, di Surakarta (Jawa Tengah) terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa krama inggil, bernama Bromartani. Adapun surat kabar berbahasa Melayu terbit pertama kali di Jawa pada 3 Februari 1860 dengan nama Selompret Melajoe yang diterbitkan oleh GCT van Dorp dengan D Appel sebagai editornya.
Kemudian pada 1895, terbitlah surat kabar Retno Dhoemillah. Ini merupakan terbitan dalam dwibahasa (Jawa-Melayu) yang berbasis di Surakarta (Jawa Tengah). Surat kabar tersebut sebagian besar berisi ulasan atau pembicaraan tentang kondisi buruk yang mendera masyarakat Jawa pada periode tersebut dan memerlukan perhatian serta bantuan dari golongan terkemuka.
Surat kabar Retno Doemilah pernah dinahkodai oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo pada periode 1901-1906. Selama menjabat sebagai redaktur, ia berupaya keras membangkitkan perhatian dari golongan bangsawan bumiputra agar bersedia memberikan bantuan kepada rakyat melalui bidang pendidikan.
Sejak saat itu, pers secara keseluruhan telah digunakan para pendiri bangsa sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Mulai muncul cendekiawan-cendekiawan Indonesia yang memiliki hobi untuk menulis dan sebagainya, mereka menyuarakan hak-hak pribumi agar setara dengan kolonial Belanda baik dalam pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.
Hal itu menginspirasi para cendekiawan lain untuk menerbitkan karya-karya jurnalistik yang serupa, ditandai dengan terbitnya surat kabar Soenda Berita di Cianjur pada 1903, kemudian di Bandung terbit surat kabar Medan Prijaji pada 1907 yang hanya bertahan selama lima tahun. Pada 1912, Medan Prijaji dilarang terbit.
Pada 1917, pemerintah kolonial Belanda mendirikan kantor berita Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap (ANETA). Selain itu, mereka juga mendirikan perkumpulan siaran radio pertama di Indonesia bernama Bataviasche Radio Vereeniging (BRV) Radio, yang disusul dengan berdirinya lembaga penyiaran pribumi pertama pada 1933, Solosche Radio Vereeniging (SRV), sebagai pesaing untuk menjadi corong informasi pribumi.
Selain melalui siaran radio, para pendiri bangsa juga mencoba mengimbangi corong informasi pada surat kabar dengan mendirikan kantor berita Antara. Kantor berita ini didirikan pada 17 Desember 1937 oleh Adam Malik, Soemanang, A.M. Sipahoetar, dan Pandoe Kartawagoena. Di tahun yang sama, Sutarto membuat film budaya dengan judul De Solose Cultuur.
Loading...