Perubahan Iklim Mengancam Produksi Kopi Dunia, Arabika Punah?
Menurut skenario perubahan iklim moderat dengan kenaikan suhu 1, 6 derajat Celcius, dunia akan kehilangan setengah dari lahan kopi terbaiknya dalam waktu 30 tahun.
Apa jadinya jika Anda tidak bisa lagi menikmati secangkir kopi Arabika pada 2050? Perubahan iklim membuat cuaca semakin panas, beberapa varietas mungkin akan semakin langka atau bahkan punah.
Dari 124 spesies kopi yang ditanam di seluruh dunia, Arabika adalah yang paling populer dan memenuhi 60-70% pasokan kopi di seluruh dunia. Biji kopi Arabika terkenal dengan cita rasa dan kualitas aromatik. Para peminum kopi menikmati rasanya yang lebih lembut dan manis, sering kali dengan sedikit sentuhan buah-buahan, bunga, dan kacang-kacangan.
Tanaman kopi Arabika tumbuh subur di tempat yang lebih sejuk dan lebih tinggi, biasanya antara 610 meter hingga 1.820 meter di atas permukaan laut. Namun, preferensi untuk iklim tertentu ini membuat Arabika lebih rentan terhadap perubahan lingkungan, penyakit, dan hama. Sifat Arabika yang sensitif menuntut perawatan ekstra, yang menyebabkan biaya produksi yang lebih tinggi.
Hal ini membuat arabika sangat sensitif terhadap dampak . Studi yang dipublikasikan oleh jurnal PLOS One pada 2022 memprediksi penurunan lahan di dunia yang cocok untuk ditanami kopi Arabika pada 2050.
Menurut skenario perubahan iklim moderat dengan kenaikan suhu 1,6 derajat Celcius, dunia akan kehilangan setengah dari lahan kopi terbaiknya dalam waktu 30 tahun. Beberapa wilayah di luar daerah tropis, termasuk beberapa bagian Cina, Uruguay, dan Amerika Serikat (AS) mungkin akan mendapatkan keuntungan dari peluang untuk perkebunan baru di daerah yang sebelumnya tidak cocok.
Namun, negara-negara yang selama ini menjadi sabuk kopi, seperti Brasil, Vietnam, , Kolombia, dan Timor Leste, perubahan iklim akan menjadi bencana. Laporan Climate Institute sebelumnya menyebutkan produksi kopi dapat berkurang hingga setengahnya pada tahun 2050 karena perubahan iklim.
Suhu yang menghangat telah mulai memperkenalkan beberapa ancaman baru terhadap produksi kopi. Perubahan suhu ini menyebabkan pertumbuhan tanaman kopi yang tidak sesuai dan hama baru.
Mungkin yang terburuk adalah penyakit karat daun, jamur pohon kopi yang mematikan yang bertanggung jawab atas hancurnya industri kopi yang pernah berkembang pesat di Sri Lanka selama lebih dari dua dekade. Hama lainnya adalah kumbang penggerek buah beri, yang mengejar suhu yang lebih hangat ke lereng bukit dan masuk ke perkebunan kopi di mana ia menimbulkan malapetaka. Kedua hama ini berkembang biak dan menyebar lebih cepat di iklim yang lebih panas.
Studi yang diterbitkan di jurnal PLOS One memodelkan kondisi pertumbuhan kopi, kacang mete, dan alpukat akan berubah dalam 30 tahun ke depan. Dari ketiga tanaman tersebut, kopi akan menjadi yang paling terpukul oleh pemanasan global.
Model studi memperkirakan penurunan secara keseluruhan pada tahun 2050 dalam jumlah wilayah di mana kopi dapat tumbuh. Untuk kacang mete dan alpukat, hasilnya lebih rumit. Beberapa wilayah yang sedang berkembang akan mengalami penurunan tanaman tersebut.
Adapun wilayah lain, seperti Amerika Serikat bagian selatan, kemungkinan akan mendapatkan lebih banyak lahan yang lebih cocok untuk tanaman pangan tropis, seperti jambu mete dan alpukat.
Industri rumahan pengolahan kopi di Madiun (ANTARA FOTO/Siswowidodo/Spt.)
Studi ini mengembangkan penelitian sebelumnya yang telah mendokumentasikan dampak buruk perubahan iklim terhadap biji kopi. Penelitian ini memberikan lebih banyak bukti penurunan kualitas dengan melihat lebih banyak faktor, seperti bagaimana tingkat keasaman (PH) dan tekstur tanah dapat berubah dengan meningkatnya curah hujan.
“Tentu saja mungkin bagi ketiga tanaman tersebut untuk beradaptasi di banyak tempat untuk mengimbangi perubahan kondisi," kata penulis studi Roman Grüter, seorang ilmuwan lingkungan di Universitas Ilmu Terapan Zurich di Swiss, seperti dikutip National Geographic.
Para ilmuwan dan petani sudah bereksperimen dengan menyilangkan beberapa tanaman tertentu untuk menciptakan sifat-sifat yang lebih tangguh yang dapat bertahan lebih baik dalam menghadapi perubahan iklim. Di beberapa wilayah, seperti di negara bagian Georgia dan Sisilia, spesies tanaman yang sama sekali baru sedang ditanam. Namun, penelitian ini memperingatkan hal itu mungkin tidak cukup.
“Pada titik tertentu, mungkin tidak ada lagi tanaman yang bisa tumbuh di wilayah tradisionalnya," kata Grüter.
Harga Kopi Dunia Melonjak
Pada 5 Februari lalu, harga kopi Arabika berjangka mencapai rekor US$ 4 per pon di New York untuk pertama kalinya. Lonjakan harga komoditas kopi Arabika ini disebabkan meningkatnya kekhawatiran akan prospek suplai global.
Menurut laporan Bloomberg, para pelaku pasar khawatir terhadap masa depan produksi kopi di Brasil, yang merupakan produsen kopi terbesar di dunia, setelah kekeringan yang berkepanjangan. Ekspor yang kuat dari negara ini di awal musim memperparah tekanan pasokan saat ini.
Para petani lokal telah menjual lebih banyak hasil panen mereka daripada biasanya. Kondisi ini menyisakan pertanyaan tentang berapa banyak yang akan tersisa untuk dikirim.
“Kita masih akan mengalami volatilitas tambahan hingga panen berikutnya tiba,” kata Pavel Cardoso, Presiden Asosiasi Industri Kopi Brasil, seperti dikutip Global Coffee Report.
Ada juga kekhawatiran mengenai hasil panen di Vietnam, produsen Robusta terbesar, setelah ladang-ladang kopi di sana dilanda cuaca buruk. Menurut Departemen Pertanian AS, peristiwa-peristiwa ini akan menurunkan stok global ke level terendah dalam 25 tahun terakhir.
Dengan dampak perubahan iklim yang semakin mengancam pasokan kopi dunia, Anda mungkin harus merogoh kocek lebih dalam untuk secangkir kopi di masa depan.
Harga Kopi Arabika dan Robusta 2020-2024 (Databoks)
Varietas Hibrida Lebih Tahan Banting?
Untuk mengantisipasi perubahan iklim, beberapa produsen melirik varietas kopi hibrida. Starbucks mengatakan mereka telah berinvestasi di perkebunan lain di Kosta Rika dan perkebunan pertamanya di Guatemala, dengan tujuan untuk melindungi pasokan kopi dari perubahan iklim.
“Embun beku di Brasil telah berdampak pada volume (panen kopi) hingga 50%, sehingga kami dapat merasakan dampak yang sangat parah dalam hal ketersediaan produk. Hal ini semakin sering terjadi di seluruh sabuk kopi (coffee belt) dunia,” ujar Roberto Vega, Wakil Presiden Starbucks untuk agronomi, penelitian dan pengembangan kopi global, dan keberlanjutan, seperti dikutip CNBC, Kamis (3/10).
Di dua perkebunan baru ini, Starbucks akan mempelajari bagaimana varietas kopi hibrida bekerja pada ketinggian dan kondisi tanah yang berbeda. Atribut tanaman hibrida termasuk produktivitas yang lebih tinggi dan ketahanan terhadap karat daun kopi, jamur yang tumbuh subur di suhu, dan curah hujan yang lebih tinggi.
“Kita dapat mengembangkan hibrida baru, tetapi fakta hibrida berhasil di satu negara dan dalam kondisi tertentu tidak berarti hibrida tersebut akan berhasil di semua tempat,” kata Vega.