Pemerhati kepolisian: Revisi tata tertib DPR itu salah kaprah
Pemerhati kepolisian dan mantan komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai revisi tata ...
![Pemerhati kepolisian: Revisi tata tertib DPR itu salah kaprah](https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2024/12/14/IMG-20241214-WA0010_1.jpg)
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, fungsi pengawasan DPR dinilai seharusnya berada pada tataran periksa dan timbang (check and balances) sehingga tidak bisa diperluas menjadi pencopotan pejabat
Jakarta (ANTARA) - Pemerhati kepolisian dan mantan komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai revisi tata tertib DPR mengenai aturan evaluasi pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna itu merupakan keputusan yang salah kaprah.
“Saya melihat hal ini salah kaprah, ya. Bagaimana mungkin tatib (tata tertib) DPR bisa mengikat pihak luar? Tatib ‘kan sifatnya internal dan hanya mengikat internal DPR,” ucap Poengky dalam keterangan diterima di Jakarta, Minggu,
Peraturan tata tertib yang dikembangkan hingga DP dapat mengevaluasi pejabat hasil uji kepatutan dan kelayakan di DPR, termasuk diantaranya Kapolri, dinilai berpotensi melanggar undang-undang.
Poengky menyebut jika nantinya DPR dapat mencopot Kapolri, hal itu berarti melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Baca juga:
“Karena menurut UU tersebut, Kapolri adalah bawahan Presiden sehingga pengangkatan dan pemberhentian Kapolri haruslah dilakukan oleh Presiden,” tutur Komisioner Kompolnas 2016-2020 itu.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, fungsi pengawasan DPR dinilai seharusnya berada pada tataran periksa dan timbang (check and balances) sehingga tidak bisa diperluas menjadi pencopotan pejabat.
Revisi tata tertib terbaru ini dikhawatirkan dapat membuka peluang transaksional antara DPR dan pejabat dalam mengamankan posisi mereka.
“Hal ini justru dapat menciptakan relasi yang koruptif, bukan relasi pengawasan yang efektif,” kata Poengky yang juga Komisioner Kompolnas 2020–2024 itu.
Menurut dia, reformasi struktural Polri telah menunjukkan secara jelas bahwa kedudukan Polri berada di bawah Presiden, karena itu tidak terdapat alasan bagi DPR untuk dapat mencopot Kapolri.
“Jika dipaksakan berlaku, hal tersebut berarti menunjukkan DPR melakukan intervensi terhadap kewenangan Presiden. Bahkan, sepengetahuan saya, dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri, seharusnya Presiden dapat melaksanakan tanpa harus mendapatkan persetujuan DPR,” ucapnya.
Baca juga:
Hanya saja, sambung dia, ketika pembuatan UU Polri pada masa awal reformasi, pengawasan rakyat yang lebih besar dibutuhkan agar tidak terjadi penyelewengan seperti pada masa Orde Baru. Oleh karena itu, DPR diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan dalam pengangkatan Kapolri.
“Nantinya ketika reformasi Polri sudah dianggap benar-benar berhasil, kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan akan dapat dihapus,” kata Poengky.
Sebelumnya, Selasa (4/2), DPR menyepakati revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Revisi tersebut mengatur penyisipan Pasal 228A ayat (1) dan (2) di antara Pasal 228 dan Pasal 229.
Pasal 228A ayat (1) berbunyi: "Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR".
Sementara itu, Pasal 228A ayat (2) berbunyi: "Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku".
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025