Kementerian Kependudukan Soroti Fenomena WNI Beralih Tinggal di Singapura
Selama 2019 hingga 2022, 3.912 WNI beralih menjadi warga negara Singapura. Sebagian mereka ada di usia produktif.
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyoroti fenomena warga negara Indonesia () yang memilih menetap di luar negeri. Salah satu fenomena yang terjadi adalah kepindahan WNI menjadi warga negara Singapura.
Wakil Menteri Dukbangga Ratu Isyana Bagoes Oka menyitir data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM yang mencatatat selama 2019 hingga 2022, 3.912 WNI beralih menjadi warga negara Singapura. Menurut dia, sebagian besar warga negara di angka tersebut berada pada rentang usia produktif, yakni 25-35 tahun.
Isyana mengatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan sejumlah lembaga untuk menangani persoalan ini. Salah satunya untuk memastikan link and match antara ketersediaan lapangan pekerjaan dengan lulusan universitas. Salah satu penyebab brain drain adalah masalah lapangan dan kesempatan bekerja yang lebih baik di luar negeri.
“Terkait brain drain, kami akan berkolaborasi dan berkoordinasi terus dengan Bappenas. Bisa dipetakan potensi ataupun lapangan pekerjaan yang tersedia atau yang perlu disediakan dan diadakan nantinya,” kata Isyana pada Sabtu, 18 Januari 2025, dikutip dari siaran resminya.
Menurut Isyana, fenomena brain drain menjadi tantangan bagi Indonesia yang sedang menghadapi dan puncaknya terjadi di 2030. Padahal, kata dia, bonus demografi merupakan peluang bagi Indonesia untuk melakukan strategi menjadi negara maju.
“Ini bukan PR yang bisa dituntaskan dengan segera, ini pekerjaan panjang tapi harus dimulai dari sekarang,” kata dia.
Sementara, Deputi Bidang Kemanusiaan Kemendukbangga Amich Alhumami mengatakan brain drain saat ini harus dilihat dari perspektif positif. Menurut dia, jika mereka yang tinggal di luar negeri bisa kembali maka bisa memiliki kompetensi berharga untuk Indonesia.
Pasalnya, menurut dia, mereka yang ke luar negeri umumnya memiliki pendidikan tinggi dan berpengalaman dalam bidang tertentu. Sehingga, perlu pengembangan lapangan kerja yang relevan di dalam negeri untuk menampungnya.
“Diperlukan pengembangan bidang-bidang keilmuan yang relevan dan itu dikaitkan dengan strategi pengembangan kewilayahan,” kata Amich.