Menanti Tindakan Pemerintah RI Setelah Menang di WTO

Gugatan Indonesia terhadap kebijakan Uni Eropa yang dinilai mendiskriminasikan produk biofuel yang berasal dari sawit dikabulkan WTO.

Menanti Tindakan Pemerintah RI Setelah Menang di WTO

Pada Desember 2019, Indonesia secara resmi menggugat Uni Eropa melalui forum World Trade Organization (WTO), yang berjudul European Union-Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels. Gugatan tersebut merupakan respons atas serangkaian kebijakan yang dianggap menghambat pasar kelapa sawit, terutama untuk bahan baku biofuel. 

Kebijakan tersebut mencakup Renewable Energy Directive II (RED II) beserta aturan pelaksanaannya yang diatur dalam Delegated Regulation, serta kebijakan serupa yang diberlakukan oleh Prancis.

Proteksionisme yang Merugikan RI

Kebijakan RED II dan Delegated Regulation yang diadopsi oleh Uni Eropa dapat dikategorikan sebagai langkah proteksionisme terselubung di balik retorika pelestarian lingkungan. Kebijakan ini secara nyata menghambat akses pasar bagi kelapa sawit Indonesia sebagai bahan baku biofuel. 

Hambatan tersebut mencakup pembatasan konsumsi biofuel berbasis kelapa sawit hingga maksimum 7%. Kemudian, penerapan kriteria risiko perubahan penggunaan lahan tidak langsung yang tinggi (high ILUC-risk), serta pemberlakuan ketentuan penghentian bertahap penggunaan biofuel berbasis kelapa sawit (phase-out).

Pasal 26 RED II secara umum memberikan batasan terhadap konsumsi bahan bakar yang dikategorikan memiliki risiko ILUC tinggi. Bahan bakar yang dimaksud, dihasilkan dari perubahan penggunaan lahan untuk biofuel, bioliquid, atau biomassa di wilayah dengan stok karbon tinggi. 

Ketentuan ini melarang negara anggota Uni Eropa untuk mengkonsumsi bahan bakar dengan stok karbon tinggi melebihi level konsumsi tahun 2019. Kecuali, bahan bakar tersebut telah memperoleh sertifikasi sebagai bahan bakar berisiko rendah. Ketentuan ini menimbulkan kendala signifikan bagi negara-negara seperti Indonesia, yang bergantung pada ekspor biofuel berbasis kelapa sawit, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk bersaing di pasar global.

Sementara itu, Pasal 4 ayat (1) Delegated Act mengatur kriteria umum untuk sertifikasi biofuel, bioliquid, dan biomassa berisiko rendah ILUC (low ILUC-risk). Kriteria ini secara tidak langsung memberikan diskriminasi terhadap produk berbasis kelapa sawit, karena mensyaratkan pemenuhan sertifikasi tertentu, yang tidak diwajibkan bagi produk berbasis soybean, rapeseed, dan sunflower. 

Hal ini bertentangan dengan asas immediately and unconditionally dalam prinsip perdagangan internasional, yang mengharuskan keuntungan dari produk sejenis diberikan secara langsung tanpa persyaratan tambahan. Prinsip ini, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) GATT 1994, mengatur semua anggota WTO harus memperlakukan produk dari negara anggota lain secara setara tanpa diskriminasi.

Penerapan RED II dan Delegated Act melanggar prinsip Most Favoured Nation (MFN), yang merupakan inti dari asas non-diskriminasi dalam kerangka perdagangan internasional. Kebijakan ini memberikan keuntungan kepada biofuel, bioliquid, dan biomassa berbasis soybean, rapeseed, dan sunflower, karena bahan bakar tersebut tidak digolongkan sebagai produk high ILUC dan tidak terhambat oleh ketentuan sertifikasi yang ketat. 

Sebaliknya, produk berbasis kelapa sawit menghadapi kendala tambahan untuk memperoleh akses pasar yang sama, sehingga secara nyata menutup peluang produk kelapa sawit untuk mendapatkan manfaat setara. Pelanggaran prinsip MFN ini mencerminkan adanya perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan ketentuan WTO, mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi negara produsen seperti Indonesia.

Indonesia Menang atas Uni Eropa

Pada 10 Januari 2025, Dispute Settlement Body (DSB) WTO secara resmi menyampaikan putusannya terkait sengketa antara Indonesia dan Uni Eropa. Dalam putusan tersebut, DSB WTO menegaskan bahwa Uni Eropa telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap produk-produk berbasis kelapa sawit yang berasal dari Indonesia. 

Pernyataan ini termuat dalam Laporan Hasil Putusan Panel WTO, yang menjadi bukti otoritatif mengenai pelanggaran aturan perdagangan internasional oleh Uni Eropa. Keputusan ini mengukuhkan klaim Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan Uni Eropa terhadap kelapa sawit melanggar prinsip-prinsip non-diskriminasi sebagaimana diatur dalam kerangka hukum WTO.

Diskriminasi terhadap CPO Indonesia

Berdasarkan temuan Panel DSB WTO, Uni Eropa dinyatakan telah melakukan tindakan diskriminatif dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit asal Indonesia. Perlakuan ini lebih rendah dibandingkan dengan produk biofuel serupa yang menggunakan bahan baku dari negara-negara anggota Uni Eropa sendiri, seperti rapeseed dan bunga matahari. 

Selain itu, Uni Eropa juga dipandang memberikan perlakuan istimewa kepada produk biofuel sejenis yang diimpor dari negara lain, seperti yang berbahan baku kedelai, sehingga menciptakan ketimpangan dalam perlakuan perdagangan internasional.

Panel DSB WTO lebih lanjut mengungkapkan bahwa Uni Eropa gagal melakukan evaluasi yang memadai. Terutama terhadap data yang digunakan untuk menetapkan bahwa biofuel berbahan kelapa sawit masuk dalam kategori alih fungsi lahan dengan risiko tinggi atau high Indirect Land Use Change risk (high ILUC-risk). 

Ketidaktepatan ini juga ditemukan dalam proses penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi untuk kategori risiko rendah atau low ILUC-risk, yang merupakan bagian integral dari kebijakan Uni Eropa dalam RED II.

Sebagai konsekuensi dari pelanggaran ini, Panel WTO mewajibkan Uni Eropa untuk segera melakukan penyesuaian terhadap kebijakan yang terkandung dalam Delegated Regulation. Panel menilai kebijakan tersebut tidak sejalan dengan kewajiban Uni Eropa berdasarkan aturan WTO, sehingga perlu dilakukan perubahan guna memastikan kepatuhan terhadap prinsip perdagangan yang adil dan nondiskriminatif sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional.

Pemerintah Harus Segera Bertindak

Saya berpendapat bahwa sebaiknya Kementerian Perdagangan segera menindaklanjuti putusan DSB WTO dengan menjalankan pengawasan secara cermat terhadap setiap perubahan regulasi yang dilakukan oleh Uni Eropa. Hal ini dengan memastikan bahwa langkah-langkah tersebut sejalan dengan putusan serta rekomendasi yang dikeluarkan oleh DSB WTO. 

Fokus utama pengawasan ini adalah pada elemen-elemen diskriminasi yang telah berhasil dimenangkan oleh Indonesia dalam sengketa tersebut. Pemerintah Indonesia juga tidak akan ragu untuk mengambil langkah lebih lanjut, termasuk mengajukan mekanisme compliance panel. Ini untuk memastikan bahwa Uni Eropa benar-benar melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan WTO.

Lebih jauh lagi, putusan yang dihasilkan oleh DSB WTO ini bukan hanya memberikan legitimasi atas posisi Indonesia dalam sengketa tersebut. Melainkan, juga menjadi aset strategis dalam memperkuat posisi negosiasi Indonesia dalam perjanjian dagang Indonesia-Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA). 

Dengan demikian, kemenangan ini tidak hanya mencerminkan keberhasilan dalam memperjuangkan keadilan di ranah hukum internasional, tetapi juga membuka peluang yang lebih besar untuk membangun hubungan dagang yang adil dan saling menguntungkan di masa depan.