Menhut Ingin Ubah 20 Juta Hektare Hutan Jadi Lahan Pangan, Walhi: Picu Kiamat Ekologis

WALHI Nasional, merespon rencana Menhut Raja Juli Antoni jadikan 20 juta hektare hutan jadi lahan untuk pangan, energi, dan air.

Menhut Ingin Ubah 20 Juta Hektare Hutan Jadi Lahan Pangan, Walhi: Picu Kiamat Ekologis

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, merespon rencana jadikan 20 juta hektare jadi lahan untuk , energi, dan air.

Menurutnya rencana tersebut memicu kiamat ekologis. Serta lingkungan dan keselamatan rakyat Indonesia akan dipertaruhkan.

"Sebab, pembukaan 20 juta hektar akan melepaskan emisi dalam skala yang sangat besar dan pada akhirnya menyebabkan bencana ekologis, , mendidih global, gagal panen, dan zoonosis," kata Uli, Minggu (19/1/2025). 

Dijelaskannya masyarakat yang hidup di sekitar kawasan di mana proyek tersebut beroperasi akan tergusur. Sedangkan masyarakat yang hidup di pesisir akan menjadi pengungsi iklim. 

Dampak lainnya, kata Uli adalah kerusakan biodiversitas, konflik agraria, yang tentunya diikuti dengan kekerasan dan kriminalisasi akibat pendekatan keamanan dalam memastikan jalannya rencana dan program ini. 

"Pembukaan 20 juta hektar ini juga akan semakin memperparah persoalan kebakaran lahan, jika -hutan tersebut juga merupakan kawasan gambut," terangnya. 

Menurutnya Kementerian Kehutanan itu seyogyanya yang paling depan menghadang rencana pembongkaran . Bukan justru merencanakan pembongkaran dan melegitimasinya atas nama dan energi. 

"Artinya Presiden dan Menteri Kehutanan tidak memahami tugas dan tanggung jawab mereka,” tegasnya. 

Saat ini saja, kata Uli sudah seluas 33 juta hektar dibebani oleh izin di sektor kehutanan.

Bukan hanya itu, 4,5 juta hektar konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan , dan 7,3 juta hektar sudah dilepaskan, dimana 70 persennya untuk perkebunan sawit. 

"Penguasaan -hutan oleh korporasi ini telah melahirkan banyak persoalan dan krisis, yang sulit untuk dipulihkan. Alih-alih melakukan penegakan hukum dan menagih pertanggungjawaban korporasi, justru pemerintah terus tunduk pada kepentingan korporasi dengan melegalisasi pengerusakan ," ungkapnya. 

Menurutnya narasi pemerintah untuk memastikan swasembada dan energi hanya sebagai tempelan untuk melegitimasi penyerahan lahan secara besar-besaran kepada korporasi. Serta memastikan bisnis dan energi bisa terus membesar serta meluas. 

"Maka, selama dan energi masih diletakkan dalam kerangka bisnis, tidak akan pernah ada keadilan bagi rakyat dan lingkungan. Yang ada hanya menambah persoalan dan mempertajam krisis sosial ekologis. Pangan dan energi adalah hak, dan tugas negara adalah memastikan hak tersebut terpenuhi," terangnya. 

Pemenuhan tersebut kata Uli akan terwujud, jika pemerintah menjadikan rakyat sebagai aktor utama dalam produksi dan konsumsi dan energi.