Novel Laut Bercerita Cerminan Tragedi Patani : Suara yang Hilang, Perjuangan yang Abadi
Beberapa hari lalu, saya sempat membaca Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, sebuah karya fiksi yang begitu menyentuh hati dan meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca. Novel ini bukan...
![Novel Laut Bercerita Cerminan Tragedi Patani : Suara yang Hilang, Perjuangan yang Abadi](https://static.republika.co.id/files/themes/retizen/img/group/favicon-rep-jogja.png)
![Image](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/profile/thumbs/placeholder.jpg)
Beberapa hari lalu, saya sempat membaca Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, sebuah karya fiksi yang begitu menyentuh hati dan meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca. Novel ini bukan hanya sekadar kisah fiksi, tetapi juga refleksi terhadap realitas sejarah Indonesia, khususnya pada era Orde Baru. Melalui tokoh utama, Biru Laut, seorang mahasiswa aktivis yang mengalami penghilangan paksa, novel ini menggambarkan ketidakadilan, kehilangan, serta pergolakan sosial yang meninggalkan luka mendalam.
Namun, jika kita menilik lebih jauh, kisah dalam novel ini tidak hanya relevan dengan sejarah Indonesia, tetapi juga dengan situasi yang dihadapi masyarakat Patani di Thailand Selatan dengan mayoritas beragama Islam dan berbudaya Melayu, masyarakat Patani telah lama menghadapi gelombang kesengsaraan, kehilangan para pencari keadilan, serta perjuangan panjang untuk mempertahankan identitas mereka. Dalam konteks ini, Laut Bercerita menjadi cermin yang merefleksikan berbagai konflik yang berakar dari fenomena serupa di Patani.
![](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/250207170626-924.gif)
"Kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya."
Kalimat pada halaman pertama novel ini mengingatkan saya pada seorang tokoh nasional Patani, Haji Sulong Abdulkadir Al-Fatoni, dikenal dengan nama Haji Sulong, seorang ulama besar yang hilang tanpa jejak. Beliau memperjuangkan hak-hak untuk masyarakat Patani melalui cara damai. Pada tahun 1947, beliau mengajukan tuntutan 7 Pasal kepada pemerintah Thailand, yang berisi permintaan agar masyarakat Patani diberikan kebebasan dalam menjalankan agama Islam, menggunakan bahasa Melayu, serta memperoleh pemerintahan yang lebih otonomi. Namun, pada tahun 1954, Haji Sulong bersama rekan-rekan dan anaknya hadir ke senggoro memenuhi panggilan Letkol Bundert Lertpricha. Tidak diketahui nasib mereka setelah pertemuan tertutup itu, dan hingga kini keberadaannya tidak pernah diketahui. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa ia dibuang di tengah laut wilayah Songkhla.
![](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/250207171159-905.jpg)
Hilangnya Haji Sulong bukanlah satu-satunya kasus. Hingga kini, banyak aktivis dan pemimpin masyarakat Patani mengalami nasib serupa. Penculikan, pembunuhan di luar proses hukum, dan penghilangan paksa menjadi pola yang terus berulang, menciptakan ketakutan yang menghantui masyarakat Patani.
Seperti yang digambarkan dalam Laut Bercerita, perjuangan untuk menegakkan keadilan sering kali dibayar dengan harga yang mahal. Meskipun, mereka tahu risikonya adalah kehilangan kebebasan, bahkan nyawa. Begitu pula dengan masyarakat Patani yang terus memperjuangkan hak-hak mereka agar tetap diakui sebagai bagian dari sejarah dan budaya yang sah.
Bagi generasi muda, novel ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kesadaran sejarah dan keberanian dalam mempertahankan identitas serta keadilan. Kisah ini mengajarkan bahwa ketidakadilan tidak boleh dibiarkan, dan perjuangan untuk kebenaran harus terus berlanjut, meskipun tantangan yang dihadapi begitu besar. Sebagai anak muda, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak melupakan sejarah dan terus menyuarakan kebenaran.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.