Otto Hasibuan Sebut UU ITE Perlu Dikaji Lebih Lanjut, Ini Alasannya

Otto Hasibuan mengatakan terdapat pasal dalam UU ITE yang menimbulkan kekhawatiran di sektor perbankan ihwal implikasinya terhadap transaksi digital.

Otto Hasibuan Sebut UU ITE Perlu Dikaji Lebih Lanjut, Ini Alasannya

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas) Otto Hasibuan menyebutkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Atau UU ITE perlu ditelaah lebih lanjut.

Alasannya, terdapat pasal, yakni Pasal 17 Ayat (2a), yang menimbulkan kekhawatiran di sektor perbankan mengenai implikasinya terhadap transaksi digital, salah satunya kekhawatiran dari Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas).

Otto mengatakan hal itu saat menerima audiensi perwakilan dari Perbanas di Jakarta pada Kamis, 23 Januari 2025. “Perlu dilakukan telaah lebih lanjut alasan mengapa dikeluarkannya pasal tersebut dengan menyesuaikan dengan pasal-pasal yang sudah ada sebelumnya," kata Otto melalui keterangan tertulis pada Jumat, 24 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Selain sebagai faktor keamanan, kata dia, Pasal 17 Ayat (2a) UU ITE perlu dikaji kembali mengingat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi sebagai implikasi adanya pasal itu yang disampaikan oleh perwakilan Perbanas. Di antaranya, sektor perbankan saat ini mengalami ketidakpastian akibat ketentuan baru dalam UU ITE.

Perbanas memperkirakan penerapan Pasal 17, yang mewajibkan semua transaksi non-tatap muka untuk menggunakan Tanda Tangan Elektronik (TTE) yang dijamin oleh Sertifikat Elektronik (SE), akan memiliki konsekuensi luas.

Menurut Perbanas, salah satu hasil yang paling mengkhawatirkan dari regulasi ini adalah kemungkinan regresi ke transaksi tunai. Perubahan itu diperkirakan meningkatkan biaya bagi pemerintah, terutama dalam hal pencetakan dan distribusi uang di seluruh Indonesia.

Otto menyebutkan Perbanas juga menilai persyaratan untuk TTE dan verifikasi keasliannya menimbulkan hambatan operasional. Proses tersebut memerlukan akses Internet yang memadai dan komunikasi elektronik, yang mungkin tidak tersedia untuk semua segmen masyarakat.

Perbanas, kata dia, juga berpendapat UU ITE mengategorikan semua transaksi keuangan digital, termasuk yang dilakukan melalui ATM, EDC (Electronic Data Capture), mobile banking, Internet banking, dan platform e-commerce, sebagai berisiko tinggi, sehingga mewajibkan penggunaan TTE yang dijamin oleh SE.

Sebagai masukan, Perbanas menyampaikan saat ini bank telah menetapkan mekanisme keamanan, seperti protokol Kenali Pelanggan Anda (KYC) dan autentikasi dua faktor (2FA). Ada argumen kuat untuk mengecualikan transaksi perbankan digital dari persyaratan TTE.

Otto menyebutkan sektor perbankan juga sudah berada di bawah regulasi ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Kedua institusi tersebut melakukan audit menyeluruh guna memastikan semua produk perbankan ditinjau secara cermat sebelum diluncurkan.

Dia menegaskan pihaknya melalui Asisten Deputi Koordinasi Pemanfaatan, Pemberdayaan, dan Perlindungan Kekayaan Intelektual akan menindaklanjuti hasil audiensi tersebut. “Tindak lanjut atau apa pun bentuknya nanti akan kami sampaikan pada kesempatan berikutnya karena, jika dicermati, ini perlu koordinasi lintas sektor dalam diskusinya,” tuturnya.

Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: