Pelangi di Sudut Kota
Sumber foto : Canva Hujan baru saja reda ketika Maya melangkah keluar dari gedung panti asuhan "Kasih Bunda". Genangan air di jalanan memantulkan cahaya senja yang keemasan, menciptakan lukisan abstrak...
Hujan baru saja reda ketika Maya melangkah keluar dari gedung panti asuhan "Kasih Bunda". Genangan air di jalanan memantulkan cahaya senja yang keemasan, menciptakan lukisan abstrak yang berkilauan di aspal basah. Aroma tanah yang baru tersapu hujan menggelitik hidungnya, mengingatkannya akan masa kecilnya dulu. Udara terasa lebih ringan, seolah hujan telah mencuci segala kepenatan yang menggantung di atmosfer kota yang sibuk.
Sudah lima tahun ia mengabdikan hidupnya sebagai pengasuh di tempat ini, merawat puluhan anak-anak yang ditinggalkan orang tua mereka. Setiap pagi, ia disambut oleh tawa riang dan tangisan yang bercampur menjadi satu simfoni kehidupan yang unik. Terkadang hatinya terasa berat melihat mata-mata polos yang masih mencari-cari sosok yang telah meninggalkan mereka, tapi Maya selalu berusaha menjadi pelita dalam kegelapan mereka.
"Kak Maya!" Suara kecil Dini, gadis cilik berusia tujuh tahun, menghentikan langkahnya. Suaranya melengking penuh semangat, kontras dengan rintik hujan yang masih tersisa. "Besok Dini ulang tahun. Kakak jadi datang kan?"
Maya menatap Dini lekat-lekat. Gadis kecil itu mengenakan dress
biru muda pemberian donatur, dengan rambut dikepang dua yang
sedikit berantakan setelah seharian bermain. Ada harapan yang
begitu besar di mata bulat jernihnya, sesuatu yang selalu
membuat Maya ingin melindunginya dari kekejaman dunia.
"Tentu sayang, Kakak pasti datang. Kita rayakan bersama
teman-teman yang lain ya?" Maya tersenyum hangat, berjongkok
menyamakan tingginya dengan Dini. Dalam hati, ia sudah
menyiapkan kejutan kecil untuk Dini - sebuah boneka beruang
yang ia jahit sendiri selama beberapa malam terakhir.
Dini mengangguk gembira, matanya berbinar-binar seperti kerlip bintang pertama yang mulai muncul di langit senja. Maya mengusap lembut rambut gadis kecil itu sebelum melanjutkan perjalanannya ke minimarket terdekat. Persediaan susu dan makanan anak-anak sudah menipis.
Langkahnya mantap menyusuri trotoar yang basah, pikirannya melayang pada daftar belanja dan kebutuhan panti. Di tengah jalan, perhatiannya teralih pada sosok seorang pria tua yang tampak kebingungan. Pakaiannya lusuh, namun ada sesuatu dalam caranya berdiri yang menunjukkan bahwa ia pernah menjalani kehidupan yang lebih baik. Tangannya yang gemetar memegang selembar kertas yang sudah kusut.
Maya menghampirinya, didorong oleh naluri keibuan yang telah
terbentuk selama bertahun-tahun merawat anak-anak panti.
"Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Pria tua itu mendongak, dan Maya melihat kehampaan sekaligus
harapan yang bercampur dalam matanya yang berkaca-kaca.
Gurat-gurat kesedihan dan penyesalan terukir jelas di wajahnya
yang keriput. "Nak, saya mencari alamat ini. Katanya anak saya
ada di sini..." Ia menyodorkan kertas yang dipegangnya dengan
tangan bergetar.
Maya membaca alamat yang tertulis. Jantungnya berdegup kencang, mengetuk-ngetuk rusuknya seperti genderang yang menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Itu adalah alamat panti asuhan tempatnya bekerja. Berbagai skenario berkelebat dalam benaknya - sukacita reunifikasi, tangis haru pertemuan kembali, atau mungkin kekecewaan yang akan menghancurkan hati kecil yang telah lama menunggu.
"Nama anak Bapak siapa?" Maya bertanya hati-hati, berusaha
menjaga nada suaranya tetap tenang meski jantungnya berpacu
semakin cepat.
"Dini... Dini Pratama. Saya ayahnya."
Dunia Maya seakan berhenti berputar. Udara terasa lebih berat
di paru-parunya. Dini, gadis kecil yang baru saja ditemuinya,
yang selalu bertanya tentang orang tuanya setiap malam sebelum
tidur, yang selalu berharap suatu hari nanti ayah atau ibunya
akan menjemputnya. Dini yang setiap kali melihat keluarga lain
datang berkunjung, akan duduk diam di pojok, menggambar
sosok-sosok yang ia bayangkan sebagai keluarganya.
"Pak... kenapa baru sekarang?" Maya berusaha menahan emosinya
yang berkecamuk. Ada kemarahan yang ingin meledak, ada
kesedihan yang ingin tumpah, tapi ada juga secercah harapan
yang mulai bersemi.
Pria itu tertunduk, bahunya yang lelah semakin merosot seolah
menanggung beban yang tak terlihat. "Saya menyesal, Nak. Lima
tahun lalu, istri saya meninggal saat melahirkan Dini. Saya
terpukul, depresi, dan tidak sanggup merawat Dini. Setiap kali
melihatnya, saya teringat istri saya, dan rasa sakit itu..."
Suaranya tercekat. "Saya tinggalkan dia di panti asuhan. Tapi
setiap malam, saya selalu dihantui rasa bersalah. Wajah istri
saya selalu muncul dalam mimpi, mengingatkan saya akan janji
untuk menjaga putri kami. Saya bekerja keras, menabung, dan
mencoba memperbaiki diri. Sekarang... saya ingin menebus
kesalahan saya."
Maya menatap pria itu lekat-lekat, mencari-cari kebohongan
dalam kata-katanya. Tapi di matanya, ia hanya melihat
kesungguhan dan penyesalan yang mendalam. Mata itu adalah mata
seorang ayah yang telah melewati neraka penyesalannya
sendiri.
"Mari ikut saya, Pak. Saya akan antar Bapak ke panti." Maya
menuntun langkah pria itu dengan lembut.
Setibanya di panti, Dini sedang bermain dengan teman-temannya
di taman. Tawa riangnya memenuhi udara sore, bercampur dengan
cicitan burung-burung yang mulai pulang ke sarang. Maya
memanggil gadis kecil itu, jantungnya berdebar menantikan momen
yang akan mengubah hidup Dini selamanya.
"Dini sayang, ada yang ingin bertemu denganmu."
Dini menoleh, dan waktu seakan melambat ketika matanya bertemu
dengan mata pria tua itu. Ada sesuatu yang familiar, sebuah
ikatan yang tak terjelaskan, benang tak kasat mata yang
menghubungkan dua jiwa yang terpisah. Mungkin itu yang disebut
orang dengan ikatan darah - sesuatu yang lebih kuat dari waktu
dan jarak.
"A-ayah?" Dini berbisik pelan, air mata mulai menggenang di
pelupuk matanya. Entah bagaimana, hati kecilnya mengenali sosok
di hadapannya, menembus kabut lima tahun perpisahan.
Pria itu berlutut, merentangkan tangannya yang bergetar.
"Maafkan ayah, Dini..." Suaranya pecah oleh isak tangis yang
tertahan.
Dini berlari, menubruk ayahnya dengan pelukan erat. Tangis
keduanya pecah, lima tahun kerinduan dan penyesalan luruh dalam
dekapan hangat. Waktu seakan berhenti berputar, memberi ruang
bagi ayah dan anak ini untuk merajut kembali ikatan yang sempat
terputus.
Maya menyaksikan pertemuan itu dengan haru, air mata hangat
mengalir di pipinya. Ia teringat kata-kata mendiang ibunya:
"Cinta yang tulus tak pernah terlambat untuk memperbaiki
kesalahan." Kini ia memahami makna kata-kata itu dengan lebih
dalam.
Sejak hari itu, kehidupan di panti asuhan berubah. Ayah Dini
tidak hanya mengunjungi putrinya, tapi juga membantu panti
asuhan. Dengan keahliannya sebagai mantan montir, ia membuka
bengkel kecil di dekat panti, mengajar anak-anak laki-laki
keterampilan otomotif. Ada cahaya baru di matanya, seolah
menemukan tujuan hidup yang baru.
Dini memilih untuk tetap tinggal di panti, sebuah keputusan
yang mengejutkan semua orang. "Aku ingin berbagi kasih sayang
dengan teman-temanku yang lain," katanya dengan bijak,
menunjukkan kedewasaan yang melampaui usianya. Setiap sore, ia
akan duduk di bengkel ayahnya, mendengarkan cerita-cerita
tentang ibunya sambil mengerjakan PR.
Maya memandang langit senja dari beranda panti. Pelangi indah
membentang di atas panti asuhan, seperti lengkungan senyum
Tuhan yang memberkati. Gradasi warnanya mengingatkannya pada
spektrum emosi yang telah ia saksikan hari ini - dari kesedihan
terdalam hingga kebahagiaan yang meluap-luap.
Ia mengerti sekarang, bahwa cinta yang tulus memang mampu
mengubah dunia - setidaknya dunia kecil mereka di sudut kota
ini. Cinta itu seperti air hujan yang membasahi tanah kering,
memberi kesempatan kedua bagi tunas-tunas harapan untuk tumbuh
kembali.
Setiap hari, Maya melihat lebih banyak orang tua yang datang ke
panti, mencari anak-anak mereka, ingin memperbaiki kesalahan
masa lalu. Beberapa memutuskan untuk membawa pulang anak
mereka, yang lain seperti ayah Dini, memilih untuk
berkontribusi pada panti sambil membangun kembali hubungan yang
sempat terputus. Masing-masing dengan ceritanya sendiri, dengan
penyesalan dan harapannya sendiri.
"Kak Maya," suara Dini membuyarkan lamunannya. Gadis kecil itu
berdiri di sampingnya, tangannya menggenggam selembar kertas
berisi gambar keluarga. "Terima kasih ya, Kakak sudah menjaga
Dini selama ini."
Maya tersenyum, memeluk gadis kecil itu. Aroma shampo
strawberry yang familiar menggelitik hidungnya. "Sama-sama
sayang. Kakak senang melihat Dini bahagia."
Di matanya, Dini telah tumbuh menjadi gadis yang penuh kasih.
Pengalaman hidupnya tidak membuatnya pahit, justru
mengajarkannya untuk lebih memahami dan memaafkan. Senyumnya
kini lebih cerah, tawanya lebih lepas, seolah beban yang selama
ini ia pikul telah terangkat.
Dan Maya? Ia tetap di sana, menjadi saksi bagaimana cinta yang
tulus mampu menyembuhkan luka, memperbaiki kesalahan, dan
mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik - satu pelukan,
satu senyuman, dan satu pengampunan pada satu waktu. Di sudut
kota ini, di bawah naungan pelangi yang memesona, ia melihat
mukjizat cinta bekerja setiap harinya, mengubah kisah-kisah
sedih menjadi nyanyian pengharapan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.