Pemerintah Diminta Lanjutkan Penyelesaian Nonyudisial atas Pelanggaran HAM Masa Lalu di Papua 

Dia berharap Prabowo bisa menyelesaikan persoalan tersebut dengan menginisiasi kegiatan Penyelesaian nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM)

Pemerintah Diminta Lanjutkan Penyelesaian Nonyudisial atas Pelanggaran HAM Masa Lalu di Papua 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden diharapkan bisa menyelesaikan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di .  Hal itu sebagaimana dikatakan aktivis sekaligus Ketua Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) Bangkit, Hengky Jokhu.

Menurutnya, pentingnya negara bertanggungjawab menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, mengingat peristiwa meninggalnya tokoh papua Parmenas H. Yoku dan dua orang lainnya yang terjadi pada era orde lama dan orde baru, tepatnya 1963 hingga 1972.

Baca juga:

Ketika itu, status Irian Barat (Papua Barat) masih di bawah yuridiksi United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). 

"Sehingga penghilangan nyawa tokoh Papua perlu mendapat perhatian dPresiden Prabowo selaku Kepala Negara," kata Hengky dalam pesan yang diterima, Rabu (12/2/2025).

Baca juga:

Dia berharap Prabowo bisa menyelesaikan persoalan tersebut dengan menginisiasi kegiatan Penyelesaian nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).

Hal tersebut, dikatakan Hengky, harus melibatkan para keluarga korban warga Kampung Ifar Besar, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, .

"Dasar Hukumnya yakni Kepres No. 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang pelaksanaan rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu," kata dia.

Di Kabupaten Jayapura, Hengky mencatat ada beberapa peristiwa berat mulai dari tahun 1963 sampai tahun 2000-an.  Di Kampung Ayapo, dikatakan Hengky, ada 8 orang yang hilang hingga hari ini kasus tersebut belum selesai. 

Sementara, di Kampung Ifar Besar ada tiga orang. Pertama yakni Permenas Joku yang merupakan tokoh Irian Barat.

Dari testimoni keluarga, Parmenas pada Juli 1963, diundang oleh SEKIB (sekretarist khusus urusan Irian Barat, di bawah Departemen Dalam Negeri), datang ke Jakarta dalam rangka sosialisasi penggabungan Irian Barat ke dalam Indonesia, tetapi tidak setuju Irian Barat masuk Indonesia.

Parmenas lebih setuju wilayah dan penduduk yang masih tertinggal, tidak masuk wilayah Indonesia. Pada 18 Desember 1963, dia diundang dalam acara ramah tamah lepas-sambut pasukan operasi ketertiban. 

Acara berlangsung di sebuah gedung di Kota Sentani. Sepulang dari pertemuan, Parmenas diduga dieksekusi dengan tragis. Jasadnya ditemukan pagi hari 19 Desember 1963, terbaring di bawah jembatan sekitar 200 meter dari rumahnya di ujung landasan bandara Sentani. Kematiannya mirip dengan kondisi yang dialami oleh Theys Eluay (2001). 

"Parmenas Joku adalah tokoh pertama Korban Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Aset pribadi berupa lahan peternakan sapi luas kurang lebih 4 hektare, yang dikelola keluarga Parmenas, telah dirampas dan kuasai tanpa kompensasi kepada keluarga Parmenas," kata dia.

Kemudian, korban kedua adalah Yulianus Yoku, seorang anak muda yang ikut semacam pergerakan Merdeka.