Sampah Elektronik yang Mengkhawatirkan
Salah satu cara untuk mengatasi sampah elektronik melalui daur ulang.
![Sampah Elektronik yang Mengkhawatirkan](https://cdn1.katadata.co.id/media/images/thumb/2024/08/13/Mona_Sakaria-2024_08_13-13_57_45_be13552a6636fbd8ac8c50e5b7e9ac8d_960x640_thumb.jpg)
Ternyata, vape atau rokok elektronik adalah kontributor besar sampah elektronik. Penjualan vape mencapai lebih dari 844 juta unit pada 2022. Sampah ini tergolong berbahaya karena mengandung berbagai metal, termasuk 130 ton zat beracun lithium.
Sampah elektronik adalah jenis sampah yang jumlahnya meningkat paling cepat. Dunia mengalami elektronifikasi dengan transformasi digital. Kemajuan teknologi yang cepat, peningkatan daya beli, serta kebutuhan kenyamanan dan konektivitas konsumen mendongkrak penjualan barang elektronik.
Statista memperkirakan nilai pasar consumer electronics dunia pada 2025 mencapai US$977,7 miliar, dan tumbuh rata-rata 2,9% per tahun sampai 2029. Sampah elektronik pun ikut meningkat. Pengelolaannya menjadi pelik, tetapi memberikan manfaat juga.
Sampah Elektronik (E-Waste)
Basel Convention mendefinisikan Waste Electrical and Electronic Equipment (WEEE) sebagai peralatan elektrikal atau elektronik yang dibuang, seperti komputer, handphone, peralatan rumah-tangga, peralatan medis, e-scooter, pompa, termasuk semua komponen, sub-asembli dan consumables-nya. Sampah elektronik atau e-waste dihasilkan oleh rumah-tangga, bisnis, pemerintah, dan industri.
Jumlah e-waste terus meningkat. Menurut Global E-Waste Monitor 2024 terbitan UNITAR (United Nations Institute for Training and Research), pada 2022 dunia menghasilkan 62 juta ton e-waste. Sebanyak 30 juta ton berasal dari negara-negara Asia. Kemudian 20 juta ton e-waste berupa peralatan kecil seperti mainan anak-anak dan peralatan rumah tangga. Panel surya menghasilkan 0,6 juta ton e-waste pada 2022, dan diproyeksikan sebanyak 2,4 juta ton pada 2030.
Proyeksi jumlah e-waste dunia sebesar 82 juta ton pada 2030, mengikuti tren proyeksi penjualan barang-barang elektronik dan elektrikal dunia dari 96 juta ton pada 2022, menjadi 120 juta ton pada 2030.
Basel Convention mengkategorikan e-waste sebagai sampah berbahaya dan tidak berbahaya. E-waste mengandung material berbahaya dan beracun seperti merkuri, timbal, brominate-flame-retardants. Sedangkan material tidak berbahaya seperti kaca, kayu, plastik, keramik, karet, dan material berharga seperti emas, perak, platinum, aluminium, tembaga, besi, serta material langka dan strategis seperti iridium dan palladium. Metal berharga ini bisa diperoleh dan digunakan kembali melalui proses daur ulang.
E-waste mengandung racun yang tidak dapat terurai secara alamiah, sehingga bisa terakumulasi di lingkungan dan mengancam kesehatan manusia. Walau e-waste hanya 2% dari seluruh sampah, tetapi bisa menyumbangkan 70% dari sampah berbahaya karena buruknya pengelolaannya.
Perkembangan Pengelolaan E-Waste
Pengumpulan dan pendaurulangan e-waste tidak secepat pertumbuhan jumlahnya. Global E-waste Monitor 2024 melaporkan peningkatan e-waste 5 kali lebih cepat dibandingkan peningkatan daur ulangnya yang tercatat. Kenaikan rata-rata jumlah e-waste sebesar 2,3 juta ton per tahun, dari 34 juta ton pada 2010 menjadi 62 juta ton pada 2022.
Sedangkan peningkatan rata-rata pengumpulan dan pendaurulangan yang tercatat hanya 0,5 juta ton per tahun, dari 8 juta ton tahun 2010 menjadi 13,8 juta ton pada 2022. Ketimpangan ini disebabkan antara lain oleh peningkatan konsumsi dan daur hidup pendek barang elektronik, serta kurangnya infrastruktur manajemen e-waste. Pada 2022 diperkirakan14 juta ton e-waste menjadi landfill.
Eropa menghasilkan e-waste terbanyak, yakni 17,6 kg per orang, dan mendaur ulang 42,8%-nya. Negara-negara Asia menghasilkan hampir separuh e-waste dunia pada 2022, tapi pengelolaannya masih tertinggal.
Amerika Utara dan Eropa mengirimkan e-waste ke Asia karena biaya daur ulang yang lebih rendah dan dimungkinkannya illegal dumping atau dalam bentuk donasi di sana. Sebagian merupakan barang bekas yang masih berfungsi, tapi 80% adalah barang rusak dan usang yang kemudian menjadi landfill, dibakar, atau didaur-ulang dengan cara informal yang berbahaya.
Tantangan dan Peluang Daur Ulang E-Waste
Daur ulang e-waste adalah proses ekstraksi material berharga dari e-waste yang dapat dipakai lagi pada peralatan elektronik baru, kebanyakan material plastik dan metal. Daur ulang bertujuan mengurangi resiko bahaya e-waste pada manusia dan lingkungan, juga memanfaatkan peluang mendulang material berharga.
Yang membedakan e-waste dari sampah lainnya adalah nilai 60 jenis metal yang terkandung di dalamnya. Nilai ekonomis metal dalam e-waste dunia mencapai US$91 miliar pada 2022, tapi daur ulang e-waste baru menghasilkan US$28 miliar. Kebanyakan hilang karena pembakaran, landfilling atau salah penanganan. Diperkirakan nilai metal daur ulang e-waste US$42 miliar pada 2030. Material daur ulang bisa lebih kompetitif dan mengurangi emisi karbon dari penambangan material baru.
Tingkat kerumitan teknis daur ulang tinggi, membutuhkan keahlian. Satu produk bisa terbuat dari lebih dari 1.000 jenis material, dan peralatan elektronik semakin kecil dan ringan, sehingga mempersulit proses pemilahan. Teknologi untuk ekstraksi berbagai jenis material berbeda-beda. Pekerja daur ulang beresiko terpapar zat-zat beracun secara menerus.
Sekitar 20% sampai 30% dari e-waste adalah plastik yang umumnya mengandung aditif tahan api. Plastik dari e-waste bisa menjadi bahan baku produk elektronik baru. Material lainnya bernilai rendah dan menjadi landfill.
Sebagian besar material dalam produk elektronik adalah material tak-terbarukan (non-renewable). Daur ulang merupakan upaya untuk mengamankan ketersediaannya dalam rantai pasok global, terlebih material langka dan strategis yang sensitif terhadap pandemi dan ketegangan politik terkait sumber-sumbernya.
Di negara-negara sedang berkembang pengelolaan sampah menjadi sumber penghasilan penting sektor informal, seperti pengumpul dan pendaur ulang sampah liar. Metode pengelolaan sampah primitif, seperti pembakaran di alam terbuka, dapat menimbulkan dioksin dan furan yang beracun.
Urgensi Penanganan E-Waste
Manajemen e-waste adalah tantangan global. Ketertinggalan infrastruktur pengelolaan e-waste membutuhkan respons yang cepat dan tepat. Langkah awal, produk elektronik dan elektrikal harus dirancang untuk keawetan, kemudahan perbaikan dan daur ulang, hemat energi, serta menggunakan material ramah lingkungan.
Produsen barang elektronik perlu percepat penerapan konsep sirkularitas, dan EPR (extended producer responsibility): bertanggung jawab atas produknya dari desain sampai akhir hayat produknya. Model bisnis perusahaan diubah, dari sekedar memproduksi dan menjual barang menjadi menjual layanan atau fungsi produknya. Kemudian, mempromosikan perbaikan; pembaharuan dan daur ulang; membangun sistem rantai pasok sirkular; serta mendidik konsumen untuk terlibat upaya sirkularitas.
Organisasi dan pemerintah di seluruh dunia perlu lebih cepat menerbitkan regulasi standardisasi produk, importasi barang-barang elektronik, pengelolaan e-waste yang aman, dan menjamin pelaksanaannya. Selain juga, menyiapkan infrastruktur untuk ekonomi sirkular. Global E-waste Monitor 2024 menyebutkan kenaikan jumlah negara yang melaksanakan kebijakan dan peraturan e-waste menurut data Juni 2023 melambat: hanya naik dari 78 menjadi 81 negara periode 2019 dan 2023.
Diperlukan juga berbagai inovasi, dari material alternatif yang lebih ramah lingkungan, sampai pengolahan e-waste yang aman dan efisien. Peneliti dari University of Delaware dan Argonne National Laboratory berupaya mengubah sampah cangkir kopi sekali-pakai dan kemasan styrofoam menjadi material elektronik bernilai tinggi untuk digunakan di solar cells dan transistor dalam skala besar.
Bidang ilmu elektronik organik berkembang untuk meneliti material elektronik organik dibuat dari molekul organik. Teknologi proses daur ulang e-waste dilengkapi dengan AI agar lebih aman bagi pekerjanya dan efisien.