Sejak Era Prabowo, Ruang Fiskal RI untuk Berutang Semakin Terbatas
Utang Indonesia saat ini mencapai Rp 8.680 triliun di bawah kepemimpinan Prabowo, dengan Debt Service Ratio (DSR) yang diperkirakan mencapai 45%, menandakan kondisi fiskal yang berisiko tinggi.
Pengamat Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai Indonesia kini menghadapi keterbatasan ruang fiskal dalam hal utang sejak pemerintahan Presiden .
Menurutnya, utang Indonesia telah mencapai Rp 8.680 triliun pada 2024 dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 39%.
Kondisi ini menambah beban negara, di mana bunga utang menjadi sangat tinggi dan tenor relatif pendek, sementara penerimaan negara masih rendah.
“Saat ini, Pak Prabowo sudah tidak memiliki kapasitas untuk berutang lebih banyak lagi. Karena Debt service ratio (DSR) kita diperkirakan akan mencapai 45% dan 44% pada 2025 dan 2026,” ujar Wijayanto dalam acara Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi pada 22 Januari 2025 pada Rabu (22/11).
DSR adalah rasio yang menunjukkan kemampuan suatu negara untuk membayar kewajiban utang dibandingkan dengan pendapatan negara dalam periode tertentu.
Dengan DSR yang terus meningkat, Wijayanto menegaskan bahwa level DSR Indonesia sudah jauh melewati batas aman yang seharusnya tidak lebih dari 30%.
“Batas aman menurut Bank Indonesia adalah antara 25% hingga 30%. Ini adalah level yang selalu dijadikan acuan dalam pengelolaan utang,” ujarnya.
Risiko Kondisi Fiskal yang Semakin Memburuk
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran terhadap stabilitas fiskal Indonesia. “Kondisi ini sudah menunjukkan lampu kuning untuk fiskal Indonesia,” kata Wijayanto.
Jika situasi ini berlanjut, investor akan semakin berhati-hati dalam membeli surat utang negara. Sebagai solusi, pemerintah diminta untuk mencari sumber utang baru. Salah satu opsi yang dia ajukan adalah memperluas basis pajak dengan memungut pajak dari ekonomi bawah tanah.
“Pajak bisa diambil dari transaksi barang ilegal atau barang legal yang menghindari pajak, seperti barang selundupan atau rokok tanpa cukai,” ujarnya.
Potensi penerimaan pajak dari sektor ini, menurut Wijayanto, bisa mencapai puluhan triliun rupiah, yang dapat membantu meningkatkan penerimaan negara tanpa menambah utang.
Imbal Hasil Surat Utang yang Meningkat
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa sejak Prabowo menjabat presiden, imbal hasil surat utang Indonesia mengalami kenaikan signifikan.
“Imbal hasil obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun telah mencapai lebih dari 7%. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan bunga utang tertinggi di Asia Tenggara,” kata Bhima dalam acara peluncuran Rapor 100 Hari Kinerja Kabinet Prabowo-Gibran pada (21/1).
Bhima menambahkan bahwa kenaikan imbal hasil ini berpotensi membebani keuangan negara, karena Indonesia juga menghadapi utang jatuh tempo sebesar Rp 550 triliun dan total kebutuhan pembayaran utang Rp 1.380 triliun.
“Bunga utang yang tinggi ini dapat mempengaruhi kebijakan fiskal pemerintah. Ini menunjukkan adanya ketidakpastian kebijakan yang memperburuk profil risiko surat utang negara,” ujar Bhima.
Secara keseluruhan, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam mengelola utang dan menjaga stabilitas fiskal. Pemerintah harus lebih cermat dalam merencanakan kebijakan fiskal agar dapat mengurangi risiko utang tanpa menambah beban pada perekonomian.