Urgensi Revisi UU Minerba Dipertanyakan

Pengamat menilai, tidak ada urgensi bagi DPR untuk merevisi UU Minerba.

Urgensi Revisi UU Minerba Dipertanyakan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menyusun revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang  Mineral dan Batu Bara. Revisi UU ini, antara lain akan membuka peluang bagi perguruan tinggi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan Bisman Bakhtiar mengatakan, tidak ada urgensi bagi DPR untuk merevisi UU Minerba. Hal ini karena revisi tersebut tidak memenuhi syarat formil, seperti melalui tahap perencanaan atau masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

“Jadi tidak ada masalah konstitusionalitas dan kekosongan hukum terhadap UU Minerba sehingga revisi ini tidak memenuhi urgensi,” kata Bisman saat dihubungi Katadata.co.id pada Selasa (21/1).

Menurut Bisman, revisi UU Minerba ini dilakukan secara tiba-tiba. Dia juga mempertanyakan mengapa pembahasan revisi ini tidak dilakukan oleh Komisi XII DPR RI yang memang membidangi pertambangan.

“Revisi ini dilakukan tanpa sosialisasi, tidak ada transparansi, serta tidak ada partisipasi publik di tahap penyusunan,” ujarnya.

Dalam rapat kemarin, Ketua Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan mengatakan revisi UU Minerba, memiliki empat poin pembahasan utama. Dua diantaranya adalah memberikan peluang bagi perguruan tinggi dan UMKM agar bisa mengelola WIUPK  secara prioritas.

Bob mengatakan, keempat perubahan ini untuk mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan rakyat di area pertambangan. Hal ini agar masyarakat tidak hanya terkena debu batu bara ataupun kegiatan eksplorasi mineral lainnya. 

Kendati demikian, menurut Bisman jika revisi UU Minerba ini berlaku maka tidak akan efektif untuk menyejahterakan masyarakat. Menurutnya, hal ini justru semakin membuka peluang penyimpangan dan korupsi.

“Dampaknya tata kelola tambang menjadi sangat eksploitatif. Perguruan tinggi tidak hanya menjalankan Tri Darma tapi juga turut berbisnis tambang, ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan,” ucapnya.

Pemberian WIUP mineral kepada perguruan tinggi akan dicantumkan dalam pasal baru, yakni pasal 51A. Berdasarkan paparan rapat, berikut bunyi pasalnya:

  1. WIUP Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas
  2. Pemberian dengan cara prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan:
    1. luas WIUP Mineral Logam
    2. akreditasi perguruan tinggi dengan status paling rendah B, dan/atau
    3. peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP Mineral Logam dengan cara prioritas kepada perguruan tinggi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Senada dengan Bisman, Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi juga mengatakan pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi tidak sesuai dengan UU Pendidikan.

“Perguruan Tinggi memiliki tiga fungsi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Pengelolaan tambang di mana pun prosesnya pasti menyebabkan kerusakan lingkungan. Dengan mengelola tambang, Perguruan Tinggi termasuk ikut berkontribusi terhadap pengrusakan lingkungan padahal selama ini Perguruan Tinggi mempelopori upaya melestarikan lingkungan,” kata Fahmy dalam keterangannya yang diterima Katadata.