Viral atau Adil: Ketika Media Menjadi Hakim di Ruang Publik
Viral atau Adil: Ketika Media Menjadi Hakim di Ruang Publik. ????9 Februari 1946 dirayakan sebagai lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Wartawan dibawah naungan pers selayaknya merasa lebih tenang dalam masa ini. -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp
9 Februari 1946 dirayakan sebagai lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Wartawan dibawah naungan pers selayaknya merasa lebih tenang dalam masa ini.
Masa kelam dalam tekanan oligarki telah berlalu berganti dengan konstitusi yang memberikan landasan dan perlindungan hukum yang cukup kokoh.
Terlebih daripada itu, pada masa digitalisasi, pers sedang naik daun, mereka disanjung dan dieluh-eluhkan, mereka bilang media/pers sebagai pilar lahirnya keadilan di negeri ini, no viral no justice, begitu penyebutannya dan memang dalam beberapa hal begitu faktanya
No viral no justice diartikan sebagai fenomena di mana keadilan hanya didapatkan setelah suatu kasus menjadi viral di media.
Fenomena itu lahir melalui penyebaran informasi tentang kasus-kasus yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Tanpa viralitas, beberapa kasus mungkin saja diabaikan atau diproses secara lambat.
Seringkali Banyak korban tidak memiliki akses keadilan atau bahkan takut untuk berbicara. Pers menjadi salahsatu tempat bagi mereka untuk menceritakan dan mencari dukungan.
Positif memang, namun fenomena ini akan menjadi berbahanya bilamana tidak terdapat mekanisme pengawasan yang komprehensif.
Mengapa demikian? Sebab Viralitas memaksa aparatur hukum bergerak dengan cepat, dan bisa saja beberapa prosedur beracara dilanggar. No viral no justice menjadi embrio aparatur hukum untuk bersikap tidak imparsial.
Sejatinya, bagaimana trial by the press ini bekerja? Dan mengapa keadaan ini perlu diwaspadai dan dihindari?
Trial by the press diklasifikasikan sebagai contemp of court dengan bentuk sub-judice rule yaitu usaha untuk mempengaruhi hasil suatu sidang peradilan (Oemar Seno Adji).
Trial by the press atau persidangan yang dilakukan oleh pers, merupakan mekanisme untuk membentuk opini publik dengan menciptakan pandangan subjektif yang tendensius bahwa seseorang telah bersalah berdasarkan fakta yang telah dikumpulkan oleh pers.
Pembentukan opini publik dilakukan melalui mekanisme manipulatif, penggunaan bahasa yang terkesan emosional dan kontroversial, framing objek, dsb. Kasus hukum diolah sedemikian rupa menjadi hiburan publik yang menarik. Saat masyarakat terpancing dan opini liar mulai tidak terkendali, saat itulah terjadi yang disebut trial by the public terjadi. Apa dampak dari trial by the public?
Pertama, aparat penegak hukum bekerja berdasarkan opini publik. Aparat penegak hukum dalam bekeraja akan dinaungi ketakutan dihujat netizen. Ya, terutama di Indonesia, kita tau kekuatan netizen dalam menghujat.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tren lembaga survey indikator kinerja aparatur hukum. Diketahui bahwa, Tahun 2023 survey indikator kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan 77,8%, KPK 71,5% dan keplisian 70,8%. Masyarakat menilai berdasarkan kinerja aparatur hukum berdasarkan pemberitaan media, bukan alasan yuridis penangan perkara pidana.
Indikator ini tentu menjadi momok tersendiri bagi Lembaga Aparatur Hukum. Bilamana keadaan ini terus terjadi, selanjutnya adalah aparatur hukum tidak bekerja berdasarkan legalitas perundang undangan, tapi bekerja dengan landasan Asal Netizen Senang.
Kedua, Adanya pelanggaran asas dalam hukum pidana, yaitu presumption of innocence atau praduga tidak bersalah. Seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) Dampak atas pelanggaran asas presumption of innocence dalam sistem hukum pidana adalah Pelanggaran terhadap peradilan yang adil (fair trial) dan meningkat potensi Kesalahan Penghukuman (Miscarriage of Justice).
Contohnya, Kasus yang paling terkenal didunia adalah Amanda Knox, mahasiswa Amerika yang dituduh membunuh teman sekamarnya di Italia.
![Foto BeritaJatim.com](https://beritajatim.com/wp-content/uploads/2025/02/dr-Fina.webp)
Pada saat itu pers menyoroti kehidupannya secara sensasional, menggambarkannya sebagai “Femme Fatale” dan “Wanita Gila Seks”, Hasilnya Amanda Knox dijatuhi pidana pada tahun 2014 selama 28,5 tahun penjara.
Namun tahun 2015 Mahkamah Kasasi Italia membebaskan Amanda Knox setelah dinyatakan tidak bersalah karena kurangnya bukti yang meyakinkan. Betapa dasyatnya opini liar yang dilahirkan oleh pers terhadap pelanggaran HAM seseorang.
Ketiga, pers sebagai instrument politisasi kasus hukum. Trial by the press dapat juga menjadi instrument penguasa menjatuhkan lawan politiknya.
Contoh fenomena ini adalah pada kasus Lula da Silva, mantan Presiden Brasil, dihukum 12 tahun penjara pada 2018 atas tuduhan korupsi dalam skandal Operation Car Wash.
Namun, banyak pihak menilai kasus ini sarat kepentingan politik karena vonis dijatuhkan menjelang Pemilu 2018, di mana Lula memiliki elektabilitas tinggi. Pada 2021, Mahkamah Agung Brasil membatalkan vonisnya, menyatakan bahwa proses hukum terhadapnya tidak adil.
Sayangnya, dampak trial by the press tidak hanya melanggar HAM dan kedudukan hukum seseorang namun juga dapat memicu hukuman sosial terhadap keluarga pelaku missal saja penolakan masyarakat (cancel culture) atau bahkan bullying dan doxing terhadap diri dan keluarga tersangka.
Diskusi ini harus berujung pada keseimbangan kedudukan pers, masyarakat dan aparatur hukum. Pers perlu menghindari framing sensasional dan verifikasi fakta ketat. Dewan Pers berperan dengan memperkuat pedoman pemberitaan kasus hukum untuk mengaruhi opini publik.
Masyarakat perlu meningkatkan Edukasi Literasi Media. literasi media dapat mengurangi efek trial by the public.
Pun demikian, Aparat Hukum Harus tetap Independen. Penegak hukum wajih mengutamakan prosedur legal, bukan tekanan publik. Transparansi proses hukum juga perlu ditingkatkan agar masyarakat tak hanya bergantung pada media
Fenomena no viral no justice hingga terjadinya trial by the press, haram diartikan perlu dilakukan pembatasan terhadap ruang gerak pers.
Apalagi melakukan pengancaman bagi pers untuk dikenakan ketentuan pasal Pasal 27A UU ITE tentang pencemaran kehormatan dan nama baik. Pers tetap menjadi alat kontrol sosial yang vital. Namun, kebebasan pers bukan berarti bebas menghakimi. Di era digital, keseimbangan antara viralitas dan keadilan adalah kunci agar hukum tidak menjadi tawanan opini publik.
Selamat Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Berjayalah Pers…!!
Dr Fina Rosalina, SH.,MH.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah (Unmuh) Jember, Ketua Posbakum Aisyiyah Jember dan
Div Advokasi Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
Jember