Ada Pelanggaran HAM di Balik Pemagaran Laut di Tangerang

Pagar laut di Tangerang diduga memenuhi unsur pelanggaran HAM dan pembatasan askes terhadap sumber perekonomian nelayan.

Ada Pelanggaran HAM di Balik Pemagaran Laut di Tangerang

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Ekologi Martim Indonesia, Oki Trikama, menemukan fakta adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang. Oki mengataan, dugaan pelanggaran HAM di kasus itu terjadi karena adanya pembatasan hak nelayan dalam mengakses ruang perairan sebagai sumber perekonomian.

Oki mengatakan, pembatasan tersebut terjadi sejak pagar laut tersebut mulai dibangun. Berdasarkan temuannya di lapangan, nelayan di sepanjang garis pantai yang lautnya dipagari menempuh jarak lebih jauh untuk melaut.

Baca berita dengan sedikit iklan,

“Ketidakadilan akses membuat nelayan berputar lebih jauh untuk melaut, pegeluaran mereka menjadi membengkak, sedangkan hasil dari melaut tidak mengalami peningkatan,” kata Oki dalam diskusi daring yang diselenggarakan FIAN Indonesia, Jumat, 24 Januari 2025.

Menurut Oki, pemerintah harus bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat pesisir Tangerang tersebut. Sehingga, kata dia, penyelesaian masalah ini tak cukup dengan hanya mencopot pagar laut itu.

Berdasarkan fakta tersebut, Oki melanjutkan, tidak ada alasan untuk tidak mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam kasus pagar laut itu. “Ini adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM dan dlang di balik pagar laut harus ditindak secara hukum,” ujarnya.

Selain itu, dia juga mendorong adanya pengusutan terhadap aprat pemerintah yang meneluarkan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas kawasan perairan.

“Jangan sampai penindakan hanya menyasar aktor lapangan, tetapi aktor intelektualnya juga harus bertanggung jawab secara hukum,” katanya.

Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Indonesia Chudry Sitompul berpandangan dugaa pemalsuan dokumen bisa jadi pintu masuk mengusut kasus pagar laut itu. Polisi, kata dia, bisa bergerak lebih cepat tanpa menunggu laporan masyarakat.

“Laporan itu bisa dibuat oleh kepolisian sendiri, apalagi ini menjadi sorotan dan sudah seharusnya diusut ada atau tidaknya pemalsuan dokumen,” kata Chudry.

Chudry menjelaskan, pihak yang terlibat dalam pemalsuan dokumen tersebut bisa dijerat pasal 263, 264 dan 266 KUHP. Pasal itu, dia melanjutkan, bisa dikenakan kepada pembuat dokumen, pengguna dokumen dan pejabat yang mengetahui bahwa dokumen tersebut palsu.

Menurut Chudry, bila penegakan hukum tersebut dilakukan, maka persoalan terbitnya HGB di kawasan laut itu akan menjadi terang. Selain itu, kata dia, adanya penegakan hukum tersebut juga menjadi celah untuk masuk ke pengusutan lebih lanjut, seperti adanya dugaan praktik suap dan korupsi dalam proses keluarnya HGB.

Sebelumnya, Menteri ATR BPN mengatakan setidaknya ada 263 bidang dalam bentuk sertifikat HGB di wilayah perairan Tangerang. Rinciannya, atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, serta atas nama perorangan sebanyak 9 bidang.

“Ada juga SHM, surat hak milik, atas 17 bidang,” kata Nusron dalam konferensi pers di Kementerian ATR/BPN pada Senin, 20 Januari 2025. “Lokasinya juga benar adanya sesuai aplikasi Bhumi, yaitu di Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.”

Dari temuan tersebut, Nusron bakal berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG). Hal itu untuk memastikan apakah titik sertifikat HGB tersebut berada di dalam atau di luar garis pantai. Bila ternyata sertifikat HGB diterbitkan di luar garis pantai alias di wilayah lautan, Nusron berjanji bakal melakukan evaluasi. “Tentu akan kami tinjau ulang,” ucapnya.

Nusron mengklaim masih memiliki kewenangan lantaran sertifikat HGB tersebut terbit pada 2025. Menurut dia, selama sertifikat HGB belum berusia lima tahun dan terbukti secara faktual ada cacat prosedural, cacat material, dan cacat hukum, maka sertifikat tersebut bisa dibatalkan dan ditinjau ulang tanpa harus dengan perintah peradilan.

di perairan Tangerang terbentang sepanjang 30,16 kilometer. Keberadaan pagar dari bambu itu mengganggu aktivitas para nelayan. Nusron sempat menyatakan tidak akan melakukan intervensi lantaran persoalan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer itu berada di wilayah lautan. Sedangkan kewenangan Kementerian ATR/BPN, kata dia, masalah tata ruang di wilayah darat.

“Selama masih di laut, itu adalah rezimnya laut,” kata Nusron di kantornya, pada Rabu, 15 Januari 2025, dikutip dari keterangan resmi.

Pilihan Editor: