Bagaimana menghadapi pemimpin berambisi tinggi seperti Trump?

Dalam wawancaranya dengan media asal Inggris, LBC, komentator politik Amerika Serikat John Bolton menyatakan bahwa ...

Bagaimana menghadapi pemimpin berambisi tinggi seperti Trump?
Kebijakan tarif tinggi yang merupakan bagian dari taktik negosiasi Trump bisa saja berbalik menjadi 'senjata makan tuan'

Jakarta (ANTARA) - Dalam wawancaranya dengan media asal Inggris, LBC, komentator politik Amerika Serikat John Bolton menyatakan bahwa Donald Trump adalah tipe orang yang "berpikir bahwa dia pasti tahu jawabannya sebelum mengetahui apa pertanyaannya atau apa faktanya".

Bolton, yang pernah menjadi Penasihat Keamanan AS selama 17 bulan saat periode pertama kepresidenan Trump, mengemukakan pula bahwa Trump "tidak ingin ada nasihat yang bertentangan, sehingga dia akan melangkah sesuai pendapatnya dan kurang bergantung kepada pendapat pakar".

Bolton, yang berpisah dengan Trump pada September 2019 karena dinilai banyak bertentangan dengan sang kepala negara, memang sejak itu kerap mengkritik Trump. Dalam buku memoarnya pada edisi 2023, Bolton menuding Trump yang menghukum "lawan pribadinya tetapi membuat lega negara lawan, Rusia dan China".

Setuju atau tidak dengan pendapat Bolton, tetapi Trump memang diakui memiliki ambisi tinggi, yang ditunjukkan dalam pidato pelantikannya bahwa dengan dirinya dilantik sebagai Presiden, maka kemerosotan Amerika Serikat telah berakhir dan "Zaman Keemasan Amerika dimulai dari sekarang."

Ambisi itu juga dilaksanakan Trump antara lain dengan menetapkan serangkaian perintah eksekutif termasuk menyatakan darurat nasional di perbatasan AS bagian selatan, meningkatkan produksi minyak dan gas, serta berjanji untuk mulai memberlakukan tarif dan pajak bagi negara asing.

Janji lainnya yang diutarakan Trump termasuk pula menurunkan harga, menyelamatkan industri otomotif domestik, mengembalikan ketertiban, membangun militer terkuat yang pernah ada di dunia, tetapi ironisnya juga bertekad untuk menjadi pembawa perdamaian.

Sedikit banyak, ambisi tinggi yang dimiliki Trump juga mirip dengan banyak pemimpin negara lainnya di sepanjang sejarah, salah satu yang memiliki kemiripan seperti Trump dapat disebut Napoleon Bonaparte, Kaisar Prancis pada periode 1804-1814.

Tentu saja perlu diakui bahwa begitu banyak perbedaan antara kedua sosok tersebut, antara lain Trump yang tidak merintis karier di dunia kemiliteran seperti Napoleon.

Namun begitu, tetap saja ada sejumlah kemiripan di berbagai kondisi yang dihadapi kedua orang tersebut. Misalnya, Amerika Serikat di era Trump pada saat ini masih merupakan sebuah negara adidaya di tingkat global, sama halnya dengan Prancis pada awal abad ke-19 saat Napoleon berkuasa.

Melawan rival

Selain itu, Prancis era Napoleon memiliki rival utama yaitu Kerajaan Inggris Raya, yang disebut Napoleon sebagai “bangsa pemilik toko” karena Revolusi Industri membuat Inggris menjadi negara penghasil beragam komoditas yang sangat produktif. Demikian halnya dengan Trump yang telah lama memandang China sebagai rival utama, di mana China kerap disebut saat ini sebagai "pabrik dunia".

Sebagaimana Trump yang mengancam berbagai negara dengan tarif tinggi, Napoleon juga kerap memberikan ancaman kepada beragam negara, terutama terkait dengan ambisi dan visinya untuk memperluas kekuatan Prancis di seluruh Eropa serta juga di wilayah di luar Eropa, yang memicu munculnya beragam konflik militer di banyak lokasi.

Bagaimana Napoleon menghadapi Inggris yang memiliki kekuatan hasil Revolusi Industri serta kehebatan produktivitas ekonominya? Napoleon, yang telah mendominasi Eropa dengan kampanye militer, melakukan langkah Sistem Kontinental, sebuah penerapan kebijakan blokade ekonomi sehingga negara-negara di Eropa daratan tidak boleh melakukan perdagangan dengan Inggris.

Tujuan Napoleon tentu saja untuk mengisolasi serta mengurangi kekuatan ekonomi Inggris, sebagaimana Trump yang juga kerap mengancam China dan sejumlah negara lainnya dengan kebijakan tarif tinggi, untuk melemahkan kondisi perekonomian dari negara-negara itu.

Namun, apakah Sistem Kontinental berhasil? Sayangnya untuk Napoleon, menerapkan blokade untuk daerah yang sangat luas seperti Eropa daratan sangatlah sulit, dan banyak negara di Eropa yang mengakalinya melalui jalur "alternatif" penyelundupan, terutama melalui negara-negara netral.

Selain, itu, Sistem Kontinental yang merupakan bagian utama dari strategi ambisi perekonomian Napoleon, ternyata justru lebih merugikan negara-negara yang ia coba kendalikan dibandingkan Inggris sendiri. Hal ini menyebabkan timbulnya banyak kesulitan ekonomi, kerusuhan, serta meningkatnya perlawanan yang ujung-ujungnya malahan melemahkan aliansi Eropa yang dibangun Napoleon.

Singkatnya, meskipun Sistem Kontinental memang menimbulkan tekanan ekonomi di Inggris, tetapi pada akhirnya tidak melumpuhkan apalagi menghancurkan kondisi perekonomian dari negara pulau tersebut.

Sebaliknya, hal ini merugikan perekonomian banyak negara Eropa, serta berkontribusi terhadap meningkatnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Napoleon.

Senjata makan tuan

Bila tidak berhati-hati, kebijakan tarif tinggi yang merupakan bagian dari taktik negosiasi Trump bisa saja berbalik menjadi "senjata makan tuan", karena hal tersebut bisa saja membuat harga-harga barang di dalam negeri AS menjadi semakin lebih tinggi.

Belum lagi bila direnungkan bahwa China saat ini telah memiliki aliansi bidang perekonomian yang bisa dibilang cukup mumpuni dalam BRICS (di mana Indonesia juga termasuk di dalamnya).

Selain itu, belajar dari Napoleon, yang menjadi kepala negara Prancis yang dapat dikatakan sebagai negara kuat dan memiliki banyak kendali atas Eropa, terutama setelah berbagai kemenangan militernya, tetapi banyak pemimpin yang menolak dominasi Prancis atau berupaya "bermain secara diam-diam", dalam arti ada yang bergabung dengan Napoleon akibat terpaksa atau karena kecemasan.

Hal ini juga tercermin dalam kondisi perpolitikan era Trump saat ini, di mana lebih banyak pemimpin negara-negara di dunia yang memainkan pernyataan diplomatis tingkat tinggi, dengan tidak menentang atau mengecam secara terang-terangan berbagai kebijakan kontroversial Trump.

Ambil contoh komentar yang bernada hati-hati dari pemimpin Denmark saat Trump menyatakan ingin mengambil alih Greenland.

Selain itu, sama halnya dengan Napoleon yang awalnya didukung oleh sejumlah negara di Eropa, tetapi pada kenyataannya mereka secara sembunyi-sembunyi melakukan aliansi terselubung, dan saat momentumnya tepat, koalisi yang mereka bangun berhasil membalikkan keadaan dan mengalahkan Prancis. Bukan tidak mungkin kondisi yang sama dapat terjadi dengan Trump.

Dengan kata lain, perlawanan terhadap Napoleon yang merupakan gabungan langkah dari pragmatisme diplomatik serta aliansi yang penuh kehati-hatian yang menunggu momentum yang tepat, juga dapat terjadi kepada Trump dengan ambisinya untuk mewujudkan "masa keemasan AS".

Pedang bermata dua

Ambisi seperti yang dimiliki Napoleon adalah jelas seperti pedang bermata dua, karena dorongannya untuk meraih kejayaan dan dominasi pada gilirannya kerap membutakannya terhadap realitas dan kompleksitas situasi yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh ambisi tersebut.

Napoleon menunjukkan sejumlah sifat yang mengindikasikan narsistik, seperti ambisi yang tiada henti, rasa superioritasnya, dan cara dia sering mengutamakan keinginannya sendiri di atas segalanya dengan mengabaikan perspektif orang lain, sehingga kurang adanya kesadaran dan refleksi diri sendiri. Tragisnya, hal tersebut juga berkontribusi kepada kejatuhannya.

Tentu saja, Prancis pada era Napoleon memiliki kondisi politik yang berbeda dengan Amerika Serikat pada era Trump. Misalnya, Prancis era Napoleon adalah negara dengan kekuatan absolut di mana segala titah Napoleon sebagai Sang Kaisar haruslah dituruti, sedangkan AS pada saat ini memiliki iklim yang lebih demokratis sehingga Trump tidak bisa berbuat semaunya.

Hal itu tampak nyata antara lain dengan adanya 22 negara bagian AS yang bergabung dalam gugatan untuk membatalkan perintah eksekutif Presiden Donald Trump guna menghentikan hak kewarganegaraan atas dasar hak kelahiran di wilayah AS.

Apakah akhir dari Napoleon dan Trump akan serupa atau berbeda memang hanya Allah yang mengetahui.

Namun yang pasti, pemimpin berambisi tinggi dan sangat percaya diri terhadap dirinya sendiri dan cenderung mengabaikan opini orang lain, biasanya akan memiliki akar pengambilan keputusan, apakah langkah yang dia ambil akan mengglorifikasi dirinya atau tidak ke depannya.

Copyright © ANTARA 2025