Cerita Warga Desa Kohod Dipaksa Anak Buah Kades Arsin Untuk Pindah Rumah

Warga Desa Kohod mendapatkan intimidasi dari aparat desa, berupa paksaan, ancaman, hingga pesan teror.

Cerita Warga Desa Kohod Dipaksa Anak Buah Kades Arsin Untuk Pindah Rumah

TEMPO.CO, Jakarta - Intimidasi dari aparat desa diduga dilakukan kepada sejumlah warga kampung Alar Jiban, , Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang yang menolak relokasi tawaran dari Kepala Desa (Kades) Arsin Bin Asip. Salah seorang warga yang menolak relokasi adalah Marto, 47 tahun. Kepada Tempo, dia mengaku dipaksa aparat desa untuk pindah rumah dan menerima relokasi dari Kades Arsin. Penolakan ini mendapat berbagai intimidasi dari aparat desa, mulai dari paksaan, ancaman, hingga pesan teror. 

Menurut dia, pesan teror sengaja disebarkan aparat desa agar warga takut dan akhirnya menyerah mengikuti skema relokasi Kades Arsin. "Mereka menyampaikan, nanti rumah kami akan diuruk paksa, ‘ntar lo dapat uang kagak tanah kagak,’ gak dapat apa-apa, kami juga diancam akan dicomot polisi," kata Marto menirukan ancaman aparat desa, Rabu 5 Februari 2025.

Marto adalah satu dari 55 keluarga di Kampung Alar Jiban yang menolak dipindah. Alasannya, kata Marto, tanah dan bangunnya dihargai sangat kecil, untuk tanah Rp 90 ribu per meter dan bangunan Rp 2 juta per meter. Adapun Marto memiliki tanah seluas 291 meter dan bangunan seluas 114 meter

"Mana cukup untuk membangun rumah yang baru," kata pria yang bekerja sebagai nelayan ini. Dia berharap, tanah dan bangunannya bisa dihargai Rp 7 juta per meter.  

Selain itu, Marto juga menolak relokasi karena tempat yang baru tidak jelas, akses nelayan untuk melaut belum pasti, dan status tanah dan bangunan di tempat relokasi belum jelas. "Belajar dari warga kampung lain yang sudah direlokasi dokumen tanah dan bangunannya belum jelas," ucapnya.  


Tempat Relokasi Terancam Digusur Pengembang

Kuasa hukum warga Desa Kohod yang menjadi korban relokasi dan pembangunan , Henri Kusuma, menyampaikan bahwa masyarakat menolak relokasi karena dianggap tidak layak dan tidak adil. 

"Warga diminta pindah ke tempat lain di mana tempat lain adalah tempat yang akan dijadikan perumahan pengembang yang suatu waktu akan digusur lagi, dan tidak menerima surat tanah pengganti," kata Henri. 

Henri menjelaskan bahwa sejumlah calo tanah mengklaim memiliki dasar hukum untuk merelokasi warga dengan alasan Proyek Strategis Nasional (PSN) demi kepentingan umum. Namun, menurutnya, pembangunan perumahan kalangan menengah ke atas tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. "Saya menduga para calo tanah ini hanya bersandar pada perda nomor 9 tahun 2020 pasal 47," ucapnya.

Lebih lanjut, Henri mengungkapkan bahwa Kades Kohod, Arsin, menetapkan nilai ganti rugi bangunan warga dengan nominal bervariasi antara Rp 300 ribu hingga Rp 1,5 juta per meter keliling. Sementara itu, tanah diganti dengan skema tukar guling di lokasi relokasi yang menawarkan luas lahan serupa. "Warga menolak karena dengan harga segitu tentunya sangat merugikan, mana cukup untuk membangun rumah yang baru," ucapnya. 

Sejak akhir Juli 2024, Henri Kusuma bersama tim dari HK Law Firm mulai mendampingi warga Desa Kohod. Dari hasil investigasi, mereka menemukan bahwa rencana relokasi tersebut ternyata bukan semata relokasi, melainkan bagian dari transaksi jual beli.

"Kades Arsin bersama perangkat desa Kohod melakukan transaksi jual beli dengan sejumlah calo dan vendor," jelas Henri. Para calo dan vendor itu diduga terhubung dengan proyek pembangunan kawasan hunian dan bisnis di pesisir utara Kabupaten Tangerang.


Joniansyah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.