Investor Tak Lagi Berburu Startup Unicorn di Indonesia
Tren investasi startup di Indonesia berubah. Investor kini tak lagi berfokus pada unicorn atau perusahaan rintisan dengan valuasi di atas US$ 1 miliar.
![Investor Tak Lagi Berburu Startup Unicorn di Indonesia](https://cdn1.katadata.co.id/media/images/thumb/2024/12/17/Ilustrasi_startup_unicorn-2024_12_17-17_46_34_4db5fd63accb57be2abc291ce805d3cd_960x640_thumb.jpg)
Tren di Indonesia berubah. Investor kini tak lagi berfokus pada atau perusahaan rintisan dengan valuasi di atas US$ 1 miliar.
Partner Trihill Capital Anthony Tjajadi menyampaikan para investor kini berfokus untuk berinvestasi ke startup dengan model bisnis yang berkelanjutan dan memiliki jalur yang jelas untuk untung.
Perubahan itu sudah terjadi sejak 2022, ketika valuasi startup mulai mengalami masa-masa normal setelah lonjakan besar pada 2021.
“Pada 2021 - 2022, valuasi startup melonjak tinggi karena likuiditas yang berlebihan di pasar. Namun saat ini, kami melihat penyesuaian yang membuat valuasi lebih rasional, terutama di Indonesia,” ujar Anthony dalam acara Investment Outlook 2025 di Jakarta, Rabu (5/2).
Menurut dia, investor kini lebih berhati-hati dalam memilih startup untuk didanai. Selain itu, tidak lagi hanya mengandalkan pertumbuhan agresif sebagai tolok ukur utama.
“Sekarang investor mencari bisnis dengan unit ekonomi yang kuat dan jalur menuju profitabilitas yang lebih jelas. Harapannya, exit dari investasi juga bisa terjadi lebih awal,” tambahnya.
Anthony menekankan status unicorn bukanlah satu-satunya ukuran kesuksesan bagi startup.
“Kenyataannya, startup unicorn sangat sedikit di Indonesia. Para founder sebaiknya tidak membangun perusahaan hanya demi mengejar status unicorn,” kata dia.
Ia mencatat ada banyak startup yang dipaksa mencapai valuasi tinggi dalam waktu singkat, justru berakhir dengan model bisnis yang tidak berkelanjutan. “Lebih baik fokus pada pertumbuhan realistis dan membangun bisnis yang bisa bertahan jangka panjang,” katanya.
Menurut Anthony, valuasi startup US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun rupiah sudah merupakan pencapaian yang luar biasa bagi sebuah perusahaan.
Selain pergeseran fokus investasi, tantangan lain yang dihadapi ekosistem startup Indonesia yakni semakin berkurangnya investor asing.
“Tren yang saya lihat saat ini adalah semakin sedikitnya investor yang bermain di modal ventura. Terutama investor asing tidak lagi ada di sini,” ujar Anthony.
Ia menilai berbagai peristiwa global dan lokal belakangan ini membuat investor asing semakin enggan menanamkan modal di Indonesia. Banyak dari mereka memilih untuk tetap di pasar asal atau berpindah ke negara tetangga yang dianggap lebih menarik.
Kendati demikian, ia menilai ini bisa menjadi potensi bagi para investor dalam negeri untuk mengambil peluang dalam berinvestasi.
“Oleh karena itu, sekarang lebih dari sebelumnya, kita sebagai investor lokal harus tetap bersama dan membangun ekosistem ini secara kolektif,” kata dia.
Hal senada disampaikan oleh Founding Partner di Intudo & Endeavor Ambassador Patrick Yip. “Saat kami masuk ke pasar pada 2017, lingkungan valuasi startup masih sangat tinggi. Namun, dengan koreksi yang terjadi belakangan ini, justru ini menjadi saat yang baik untuk berinvestasi,” kata dia.
“Dulu, valuasi startup sering kali didasarkan pada metrik seperti nilai transaksi bruto atau Gross Merchandise Value (GMV). Sekarang, investor lebih melihat profitabilitas, EBITDA, dan metrik keuangan lain yang lebih substansial,” Patrick menambahkan.
Patrick juga menekankan ekosistem startup di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Namun kondisi ini justru membuka peluang bagi investor baru maupun lokal yang ingin naik ke level yang lebih tinggi.
“Kondisi ini menciptakan peluang bagi pemain baru atau investor yang belum menjadi pemimpin pasar untuk naik ke panggung utama,” kata dia.