Jangan biarkan medsos mengendalikan hidup kita
"Hanya ada dua industri yang menyebut konsumen mereka sebagai 'pengguna': narkoba dan perangkat ...
![Jangan biarkan medsos mengendalikan hidup kita](https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2025/02/07/Medsos.jpg)
Media sosial memang sudah menghubungkan kita, namun jangan biarkan ia mengendalikan hidup kita
Jakarta (ANTARA) - "Hanya ada dua industri yang menyebut konsumen mereka sebagai 'pengguna': narkoba dan perangkat lunak."
Kutipan Edward Tufte, Guru Besar ilmu politik, statistik dan komputer dari Yale University tersebut, yang dinukil dari film The Social Dilemma, menggambarkan bagaimana media sosial bisa menyebabkan ketergantungan seperti halnya narkoba.
Film dokumenter yang dirilis pada tahun 2020 ini mengungkap bagaimana media sosial dirancang untuk membuat penggunanya kecanduan, terutama anak-anak dan remaja.
Berbagai platform media sosial menggunakan algoritma yang terus-menerus menampilkan konten yang menarik perhatian pengguna, membuat mereka terus scroll (menggulir) tanpa henti. Jika sudah begini, mati lampu atau paket wi-fi habis bisa membuat anak mati gaya lalu mencak-mencak.
Medsos memang dirancang untuk membuat penggunanya mendapatkan kepuasan instan, seperti halnya saat memakai narkoba atau saat menang judi.
Dampak kecanduan media sosial ini bukan hal sederhana, dan remaja serta anak-anak termasuk yang paling rentan terkena dampaknya. Efek kecanduan ini bisa berupa berkurangnya kepercayaan diri karena keseringan membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang ditampilkan di medsos, takut ketinggalan informasi dan tren terkini (FOMO), serta menurunnya konsentrasi belajar.
Lebih mengerikan lagi, keterhubungan anak-anak dengan dunia luar tanpa batas, membuat mereka dalam posisi "tidak aman" meski mereka berada di dalam rumah. Lihat saja, berapa banyak anak-anak yang terlibat judi online. Data KPAI menyebutkan judi online menyeret 80 ribu anak usia di bawah 10 tahun dan 197 ribu lebih anak usia hingga 19 tahun.
Atau kasus eksploitasi seksual. Selama Mei hingga November 2024, Polri membongkar 47 kasus pornografi online anak dan membekuk total 58 tersangka.
Yang perlu dipahami di sini adalah bahwa teknologi itu sebenarnya bukan ancaman. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana teknologi digunakan untuk mengeksploitasi emosi negatif manusia.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah bukannya berdiam diri. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk melindungi anak-anak dari ancaman kejahatan digital.
Yang teranyar, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memperkenalkan aplikasi SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten) yang dirancang sebagai "polisi" yang menjaga ruang digital Indonesia agar tetap aman bagi masyarakat maupun anak-anak.
Aplikasi ini juga dirancang untuk mengawasi kepatuhan para penyelenggara User Generated Content (PSE UGC), untuk meminimalkan keberadaan konten ilegal seperti judi online, pornografi dan pinjaman online ilegal.
Komdigi juga masih menggodok aturan mengenai pembatasan umur pengguna media sosial dan tengah mengkaji batas umur minimal bagi anak-anak yang bisa mempunyai akun medsos. Belum jelas juga bagaimana mekanisme implementasi aturan ini, namun setidaknya, upaya untuk merancang aturan terkait, seperti halnya yang juga sudah dimiliki beberapa negara, patut diacungi jempol.
Peran kunci orang tua
Tidak mudah, memang, untuk memisahkan anak-anak dari medsos yang sudah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Mereka ini generasi digital native yang dari sejak lahir sudah mengenal teknologi. Mereka tumbuh dan berkembang bersama teknologi digital. Bahasa medsos adalah bahasa ibu bagi mereka.
Tetapi, apakah anak-anak itu sudah mengenal medsos begitu lahir? Apakah mereka minta dibuatkan akun medsos begitu tangan dokter mengeluarkan mereka dari perut ibu? Tentu tidak. Lingkunganlah yang memperkenalkannya kepada anak-anak. Lingkungan dalam hal ini terutama adalah orang tua.
Sebagian orang merasa lebih tenang bekerja karena anak mereka anteng di kamar berselancar di dunia maya. Ada juga yang merasa, anak mereka lebih aman jika berada di dalam rumah bersama smartphone, tanpa mereka sadari bahwa "predator" pun bisa dengan mudah masuk ke rumah melalui barang canggih tersebut dan memangsa anak-anak.
Berbagai platform media sosial sebenarnya sudah memberikan batas minimum umur untuk membuat akun, atau mewajibkan menggunakan akun surel orang tua sebagai bentuk pengawasan. Pada kenyataannya, syarat-syarat itu bisa dengan mudah diakali.
Yang sekarang ini menjadi orang tua rata-rata adalah generasi digital immigrant, yang mengalami peralihan teknologi dari analog ke digital. Banyak di antara mereka yang secara teknologi kalah pintar dibandingkan anak-anaknya.
Padahal peran orang tua sangat dibutuhkan di sini. Bukan hanya untuk mengawasi, tetapi juga sejak dini membiasakan anak untuk menggunakan media sosial dengan bijak dan seimbang. Misalnya, dengan membatasi waktu berselancar di dunia maya, ikut mem-follow akun anak untuk memantau aktivitas mereka.
Sesekali, boleh juga orang tua bersama anak melakukan detox medsos. Betul, orang tua pun juga perlu "diselamatkan" dari kecanduan medsos. Detox bisa dilakukan dengan menonaktifkan medsos selama 24 jam. Ini tantangan berat.
Satu jam pertama masih aman. Satu jam berikutnya dunia mulai terasa sepi. Anak – dan orang tua yang juga kecanduan medsos — akan refleks mencari telepon seluler.
Ini sebenarnya menjadi peluang bagi orang tua untuk merebut kembali perhatian anaknya yang selama ini sudah didominasi oleh medsos. Caranya bisa dengan mulai ngobrol, melakukan aktivitas bersama, jalan-jalan, atau apa pun, yang penting terkoneksi secara nyata.
Dengan detox digital ini, anak akan membuktikan bahwa tanpa medsos ternyata hidup tetap berjalan, bahkan mungkin bisa lebih seru. Hilangnya kendali medsos atas anak-anak bisa jadi justru akan membuat mereka lebih kreatif.
Media sosial memang sudah menghubungkan kita, namun jangan biarkan ia mengendalikan hidup kita.
Baca juga:
Baca juga:
Copyright © ANTARA 2025