Kebahagiaan warga Gaza sirna saat kampung halamannya luluh lantak
Empat hari pascagencatan senjata yang mengakhiri konflik selama 15 bulan antara Hamas dan Israel, warga Palestina di ...
Saya memimpikan pulang ke rumah, tetapi saya tidak menemukan apa pun kecuali reruntuhan
Gaza (ANTARA) - Empat hari pascagencatan senjata yang mengakhiri konflik selama 15 bulan antara Hamas dan Israel, warga Palestina di Gaza pulang ke kampung halaman mereka sembari berharap ada tanda-tanda kenormalan.
Namun, kelegaan mereka dengan cepat berubah menjadi keputusasaan saat mereka menghadapi kenyataan memilukan dari apa yang tersisa di rumah mereka.
Seorang wanita Palestina bernama Samira Mahmoud termasuk di antara orang-orang yang bergegas kembali ke rumah di bagian timur area permukiman al-Shujaiya di Gaza City.
"Saat berjalan menuju rumah, hati saya berdebar-debar, dan saya berdoa kepada Allah agar setidaknya beberapa bagian dari rumah saya masih utuh," ujar ibu tiga anak berusia 32 tahun itu kepada Xinhua.
Namun, alih-alih pelipur lara, dia malah mendapati kehancuran. "Saya memimpikan pulang ke rumah, tetapi saya tidak menemukan apa pun kecuali reruntuhan. Anak-anak saya bertanya kepada saya di mana rumah, mainan, dan kebun kami berada, tetapi tidak ada yang tersisa," keluh Samira.
Skala kehancuran tersebut menyebabkan sejumlah area permukiman
tidak dapat dikenali lagi. "Tadinya kota kami begitu ramai,
penuh dengan orang-orang, kendaraan, cahaya, dan kehidupan.
Kini, bahkan reruntuhannya pun mengeluarkan hawa kematian,
ketakutan, dan ketidakpastian," ujar Omar Sarsour, warga di
area permukiman Tel al-Hawa di Gaza barat.
Di kamp Bureij, Gaza tengah, pemandangannya tak kalah suram. Setelah membersihkan puing-puing dari rumahnya selama berhari-hari, pria Palestina bernama Ayman Obeid akhirnya menemukan foto lama yang menunjukkan seluruh anggota keluarganya.
"Saya pikir saya tidak akan pernah melihatnya lagi. Foto ini menggambarkan kehidupan kami sebelum perang, dipenuhi senyuman yang kini telah hilang," kata pria berusia 42 tahun tersebut.
Tak jauh dari tempatnya berada, ibu Ayman duduk di sebuah tenda darurat yang didirikan di dekat reruntuhan rumah mereka. "Kami menjalani kehidupan yang sederhana namun bermartabat," tuturnya. "Saat ini, kami hanya mencari tempat untuk berlindung dari hawa dingin."
Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 50 juta ton puing berserakan di Jalur Gaza. Proses pembersihan puing-puing itu dapat memakan waktu lebih dari dua dekade dan menelan biaya sebesar sekitar 1,2 miliar dolar AS.
"Sekitar 88 persen (wilayah) Gaza mengalami kerusakan, dengan 161.600 unit tempat tinggal hancur total. Kerugian finansial awal diperkirakan mencapai lebih dari 38 miliar dolar AS," urai Ismail Thawabta, kepala kantor media pemerintah yang dikelola Hamas.
Sebuah laporan PBB baru-baru ini menekankan bahwa upaya rekonstruksi membutuhkan dana miliaran dolar AS dan komitmen internasional yang berkelanjutan.
Laporan tersebut juga menyoroti potensi kendala yang ditimbulkan oleh pembatasan Israel terhadap masuknya material konstruksi ke Gaza.
Dalam konflik Israel-Hamas yang berlangsung selama 15 bulan, militer Israel telah menewaskan lebih dari 47.000 warga Palestina, menurut otoritas kesehatan Gaza. Selain itu, lebih dari 90 persen populasi Gaza terpaksa mengungsi.
Tim Pertahanan Sipil bekerja tanpa henti untuk mencari warga yang terjebak di bawah reruntuhan. Sejak gencatan senjata diberlakukan, mereka telah menemukan lebih dari 100 jasad.
"Kami tidak dapat berbicara soal kembali ke kehidupan normal, sementara jasad-jasad masih terkubur di bawah reruntuhan. Pada Selasa (21/1) saja, kami telah mengevakuasi 80 jenazah. Banyak keluarga masih belum ditemukan," kata Sami Al-Haddad, seorang sukarelawan dalam upaya penyelamatan tersebut.
Meski ada lebih dari 1.000 truk bermuatan bantuan kemanusiaan yang telah memasuki Jalur Gaza sejak pemberlakuan gencatan senjata, warga berpendapat bahwa dukungan itu belum mencukupi.
Mohammed Salah, warga kamp Nuseirat di Gaza tengah, mempertanyakan kecukupan bantuan itu.
"Bantuan (telah) datang, tetapi kami tidak melihatnya. Kami mendapatkan sedikit makanan, tetapi bagaimana dengan rumah kami? Siapa yang akan membangunnya kembali? Hidup kami telah hancur," tuturnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2025