OTT Menggerus “Cuan” Operator

Indonesia termasuk tertinggi dalam menerapkan regulatory cost, karena dunia umumnya memungut hanya sekitar 9%. 

OTT Menggerus “Cuan” Operator

Ditulis oleh: , Pengamat telekomunikasi, mantan editor Harian Kompas


TRIBUNNERS.COM, JAKARTA - Operator telekomunikasi seluler Indonesia berharap banyak Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid yang merupakan mantan Ketua Komisi 1 DPR RI.

Cocok sebenarnya, karena komisi itu bermitra antara lain dengan Kemkomdigi, sehingga mestinya Meutya paham sekali apa masalah di kementeraiannya.

Tetapi tampaknya pembawaannya sebagai orang partai yang seolah menghadapi pileg, Ia tidak membentengi dirinya dengan tenaga-tenaga ahli di bidangnya. 

Staf-staf khususnya malah pendengung (buzzer) dan influencer serta semacamnya, seolah ia membutuhkan tameng melawan pendengung lain dan pemoles wajah atau pencitraan.

Baca juga:

Media menyebutkan ada tujuh masalah yang harus dihadapi Menkomdigi, antara lain soal judi online (judol), perlindungan data pribadi, perluasan jangkauan layanan dan sebagainya. 

Padahal masalah besar yang selalu diungkap lewat media adalah tekanan berat mereka akibat besarnya pungutan pemerintah (regulatory cost) yang mencapai rata-rata 13 persen, sementara tertinggi yang dibebankan ke salah satu operarator mencapai 14%.

Indonesia termasuk tertinggi dalam menerapkan regulatory cost, karena dunia umumnya memungut hanya sekitar 9%. 

Operator dalam negeri terberbani pengutan-pungutan yang sebagiannya bahkan tidak punya dasar hukum dan dasar hitungan yang pasti, misalnya BHP (biaya hak penggunaan) telko yang 0,5?ri pendapatan kotor, atau menanggung beban pemerintah untuk memberi layanan setara (PSO – public service obligation) yang 1,25?ri pendapatan kotor , BHP frekuensi yang dihitung darin sebaran BTS (base transeceiver station – perangkat pengirim dan penerima sinyal radio dari ponsel pelanggan) dan pengambilan sebagian spektrum frekuensi Ketika dua melakukan penggabungan (merger).

Sebagian BHP dan pengambilan spektrum itu menurut banyak kalangan tidak memiliki alasan dan hitungan yang jelas, kecuali bahwa pemerintah ingin mengimbangkan kepemilikan spektrum frekuensi sesuai jumlah pelanggan masing-masing. 

Spektrum yang diambil kemudian dilelang, dan, lagi-lagi dimenangkan Telkomsel yang kaya dan kini punya spektrum frekuensi terlebar 195 MHz dengan 159,5 juta pelanggan. 

IOH setelah merger mestinya punya 145 MHz, dipotong pemeruntah 10 MHz jadi 135 MHz, XL Smart berharap tetap memilik 152 MHz. Petinggi Axiata dan Sinar Mas (pemilik Smartfren) berharap tidak akan ada pengambilan spektrum karena “Si Raksasa” sudah punya spektrum mendekati 200 MHz, “Mestinya tidak harus dicarikan tambahan lagi.”
 
Entitas “gebyar”

Merger selalu disarankan pemerintah akibat Indonesia pernah punya tujuh , Telkomsel, Indosat Ooredoo, Hutchison Three (3-Tri), XL Axiata, Axis, Smartfren dan Sampurna Telecom, yang terakhir ini sudah ditutup karena tidak mampu. 

Axis diakuisisi XL Axiata, Indosat dan Tri sudah jadi IOH (Indosat Ooredoo Huthcison) dan kini XL Axiata akan merger dengan Smartfren menjadi PT XL Smart Sejahtera (XL Smart), sehingga beberapa bulan lagi hanya akan ada tiga , Telkomsel, IOH dan XL Smart.