Pakar Hukum Tata Negara Sebut Revisi Tatib DPR Culas, Bivitri Susanti: Ini Melanggar Konstitusi

Menurut Bivitri hal itu menjadi masalah karena tatib tersebut merupakan peraturan DPR di mana tidak ada keterlibatan eksekutif di dalamnya.

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Revisi Tatib DPR Culas, Bivitri Susanti: Ini Melanggar Konstitusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara sekaligus akademisi STHI Jentera memandang langkah merevisi Peraturan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) adalah sebuah perbuatan culas.

Ia pun sempat membandingkannya dengan upaya DPR untuk mengubah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang tercatat muncul saat anggota DPR periode 2019 - 2024 menjabat.

Baca juga:

Dilansir dari Kompas.com, rencana revisi UU MK yang dimaksud Bivitri ingin mengubah beberapa pokok materi yang sudah ada dalam UU MK saat ini.

Satu di antaranya soal masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga berumur 70 tahun dikembalikan menjadi 5 tahun. 

Baca juga:

Untuk hakim yang sedang menjabat, dikembalikan ke lembaga pengusul untuk menentukan nasibnya melalui permintaan konfirmasi.

Selain masa jabatan, usia minimal hakim konstitusi juga dikhawatirkan hendak diubah dari 55 tahun menjadi 60 tahun.

"Ini culas. Mereka mau ubah UU MK buat mengutak-atik MK kita cegah, sekarang mau masuk dari sini (revisi )," kata Bivitri saat dihubungi Tribunnews.com pada Rabu (5/2/2025).

Ia menjelaskan proses pemilihan hakim dan komisioner masuk aturan main pemilihan, dan bukan pemberian mandat yang bisa dicabut kapan saja.

Begitu sudah dipilih, lanjutnya, maka komisioner atau hakim diatur dalam UU masing-masing misalnya UU MK atau UU KPK.

"Peraturan tidak bisa melanggar UU dan bahkan ini melanggar konstitusi karena susunan, kedudukan, fungsi lembaga-lembaga negara itu diatur dalam UUD," lanjut dia.

Lalu apa yang bisa dilakukan kekuasaan eksekutif dan yudikatif untuk menangkalnya?

Menurut Bivitri hal itu menjadi masalah karena tersebut merupakan peraturan di mana tidak ada keterlibatan eksekutif di dalamnya.

Akan tetapi menurutnya, siapa saja bisa mengajukan pengujian terhadap peraturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

Ia menjelaskan judicial review (uji materi) semua peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang bisa diajukan ke MA.