Kepala BMKG sebut ilmu "titen" jadi kearifan lokal mitigasi bencana
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut ilmu titen, sebuah kearifan ...
Jadi pakai ilmu kearifan dengan melihat sekitarnya, kalau orang Jawa ilmu titen, harus mempunyai kearifan melihat sekitar
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut ilmu titen, sebuah kearifan lokal dari Jawa untuk membaca cuaca dari tanda-tanda di lingkungan sekitar bisa digunakan untuk mitigasi bencana bagi masyarakat.
"Jadi pakai ilmu kearifan dengan melihat sekitarnya, kalau orang Jawa ilmu titen, harus mempunyai kearifan melihat sekitar, biasanya kalau awan sudah tebal, menghitam, itu segera mencari tempat yang aman, masuk ke rumah atau ke gedung ya, karena biasanya akan ada hujan lebat, dapat disertai kilat dan petir, bisa disertai angin puting beliung," katanya saat ditemui di Antara Heritage Center Jakarta Pusat, Rabu.
Ia mengemukakan, tanda-tanda alam misalnya awan yang memiliki ekor bisa dilihat sebagai potensi akan terjadi angin puting beliung.
"Kalau sampai ada gambar ekor seperti belalai, itu bisa jadi angin puting beliung, jadi itu kalau ada, segera cari tempat yang aman, jangan berteduh di bawah pohon atau di bawah tegakan-tegakan, itu bisa roboh, bahkan rumah yang tidak kokoh bisa roboh juga," ujar dia.
Selain itu, pertanda bencana di wilayah sungai juga bisa ditandai dengan melihat kondisi awan. Apabila cuaca cerah tetapi di arah hulu awan sudah gelap atau mendung, ia menyarankan masyarakat untuk segera keluar dari sungai.
"Segera aja keluar dari sungai, meskipun mendungnya itu masih terlihat di hulu, bisa terjadi banjir bandang, apalagi kalau air sungai tiba-tiba menjadi keruh, juga kalau ada di lereng-lereng gunung, kita tamasya di lereng gunung, tiba-tiba kok langit mendung, segeralah menjauh dari lereng gunung," ucapnya.
Dwikorita menambahkan, apabila di lereng-lereng gunung terlihat sudah ada retakan atau ambles, bahkan keluar rembesan air atau mata air secara tiba-tiba dengan air yang mulai mengeruh, maka diimbau segera meninggalkan tempat.
"Karena itu cara aman untuk menghindari bencana," katanya.
Dwikorita juga menyampaikan musim hujan diprakirakan terjadi hingga akhir Maret 2025.
"Musim hujan diprediksi akan berakhir sampai bulan Maret, akhir Maret 2025, dan April itu transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Nah, kemudian puncak musim hujan itu di sebagian besar wilayah Indonesia terjadi di bulan Januari hingga Februari, sehingga saat ini masih menghadapi puncak musim hujan," paparnya.
Karena itu, ia mengimbau masyarakat tetap waspada potensi terjadinya cuaca ekstrem yang masih terus berulang dan hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.
"Hanya tempatnya itu bergeser-geser, misalnya dari Sumatera, dari Jakarta, lalu ke Jawa Tengah, ke Jawa Timur, lalu nanti ke Sulawesi, nanti balik lagi ke Jakarta, jadi akan berpindah-pindah tempatnya," ujar dia.
Ia juga menyarankan masyarakat terus memonitor perkembangan cuaca informasi di situs resmi BMKG, mengingat dinamika cuaca yang cepat berubah-ubah.
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2025