Pelangi Setelah Hujan

Sumber foto : Canva Sore itu, langit Jakarta menumpahkan tangisnya. Ginen memandang ke luar jendela KRL jurusan Bogor, menatap rintik hujan yang menari-nari di kaca. Gemuruh roda kereta berpadu dengan...

Pelangi Setelah Hujan
Image Syahrial, S.T Sastra | 2024-11-18 20:07:02
Sumber foto : Canva

Sore itu, langit Jakarta menumpahkan tangisnya. Ginen memandang ke luar jendela KRL jurusan Bogor, menatap rintik hujan yang menari-nari di kaca. Gemuruh roda kereta berpadu dengan suara hujan yang mengetuk-ngetuk atap gerbong, menciptakan melodi yang menenangkan sekaligus menyesakkan. Sudah dua minggu ini ia bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan properti, namun belum ada satu unit pun yang berhasil ia jual. Keraguan mulai menggerogoti hatinya.

Di dalam gerbong yang setengah penuh, aroma khas KRL bercampur dengan wangi hujan yang menerobos masuk dari celah-celah jendela. Beberapa penumpang tertidur, yang lain sibuk dengan ponsel atau buku bacaan mereka. Ginen menghela napas panjang, pikirannya melayang pada presentasi terakhirnya yang gagal. Ia masih bisa mengingat dengan jelas tatapan tidak tertarik dari calon pembeli, dan bagaimana suaranya bergetar saat mencoba menjelaskan keunggulan properti yang ditawarkan.

"Masih melamun aja!" Suara Purdi, rekan kerjanya, membuyarkan lamunan Ginen. "Jangan bilang kamu masih kepikiran soal target bulan ini?"

Ginen tersenyum kecut. Kantong matanya yang menghitam menjadi bukti bisu betapa keras ia berusaha minggu-minggu ini. Di sampingnya, Andre, senior mereka yang sudah tiga tahun bekerja sebagai sales, menghela napas panjang. Blazer hitamnya terlihat sedikit basah di bagian pundak, hasil dari berlari mengejar kereta di tengah hujan.

"Kamu tau nggak, Gen? Dulu pas aku baru mulai, sama kayak kamu. Tiga minggu pertama rasanya mau nyerah aja," ujar Andre sambil mengeluarkan agenda dari tasnya. Buku agenda itu penuh dengan coretan dan sticky notes, jejak perjuangan seorang sales senior. "Tapi ada satu hal yang bikin aku bertahan."

Ginen menoleh, tertarik. KRL terus melaju menembus hujan, meninggalkan hiruk pikuk Jakarta di belakang. Sesekali terdengar suara announcer yang memberitahukan nama stasiun berikutnya, bercampur dengan dengung percakapan penumpang lain dan derit logam kereta yang beradu dengan rel.

"Apa itu, Kak?" tanya Ginen penasaran, suaranya hampir tenggelam oleh deru hujan yang semakin deras.

"Keyakinan," jawab Andre mantap. Matanya memancarkan kepercayaan diri yang Ginen diam-diam iri. "Keyakinan kalau aku bisa. Tau nggak? Sales itu bukan cuma soal produk yang kita jual, tapi juga tentang kepercayaan diri. Kalau kita sendiri nggak yakin sama kemampuan kita, gimana customer mau percaya?"

Purdi mengangguk setuju, merapikan dasinya yang sedikit miring. "Bener banget tuh. Inget nggak minggu lalu pas kita ketemu client di Depok? Kamu tuh sebenernya udah bagus cara presentasinya, cuma sayangnya keliatan ragu-ragu. Customer bisa ngerasain itu lho, Gen."

Ginen terdiam, mencerna kata-kata kedua rekannya. Jemarinya tanpa sadar memainkan ujung map berisi brosur-brosur properti yang belum tersentuh. Memang benar, selama ini ia selalu dibayangi ketakutan akan penolakan. Setiap kali hendak menawarkan produk, ada suara kecil di kepalanya yang berbisik, "Kamu nggak akan bisa."

KRL berhenti di Stasiun Depok. Suara decit rem memecah keheningan, diikuti dengan hiruk pikuk penumpang yang turun dan naik. Beberapa penumpang turun, digantikan yang baru. Hujan masih turun, tapi tidak sederas tadi. Aroma kopi dari gerai di peron stasiun sekilas tercium, mengingatkan Ginen pada pagi-pagi yang ia habiskan mempersiapkan presentasi.

"Kak Andre," Ginen memberanikan diri bertanya, suaranya lebih mantap dari sebelumnya. "Gimana caranya bisa yakin sama diri sendiri?"

Andre tersenyum, matanya menerawang ke luar jendela yang berembun. "Pertama, kamu harus tau kalau semua orang pasti pernah gagal. Aku? Berkali-kali ditolak client. Purdi juga sama. Tapi yang bikin kita bisa bertahan sampai sekarang adalah keberanian buat mencoba lagi."

"Betul," Purdi menimpali, mengeluarkan sebungkus permen mint dari sakunya dan membagikannya. "Kegagalan itu guru terbaik, Gen. Setiap kali ditolak, evaluasi diri. Apa yang kurang? Apa yang bisa diperbaiki? Jadikan itu pelajaran buat next presentation."

Tiba-tiba Purdi menunjuk ke luar jendela, matanya berbinar. "Eh, lihat deh!"

Di tengah rintik hujan yang mulai mereda, sebuah pelangi muncul membentang di langit sore. Warna-warninya begitu cemerlang, kontras dengan awan kelabu yang mulai menyingkir. Cahayanya memantul di genangan air di sepanjang rel, menciptakan pemandangan yang memukau.

"Tau nggak filosofi pelangi?" tanya Andre, nadanya penuh makna. "Dia muncul setelah hujan. Sama kayak kesuksesan, datengnya setelah kita berani nembus badai."

Ginen menatap pelangi itu lekat-lekat, meresapi setiap warna yang terpancar. Merah yang membara seperti semangat yang mulai tumbuh dalam dirinya, jingga dan kuning yang hangat seperti dukungan kedua rekannya, hingga biru dan ungu yang dalam seperti kebijaksanaan yang baru ia pahami. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mungkin ini adalah tanda, pikirnya. Tanda bahwa setelah dua minggu penuh keraguan, saatnya ia bangkit dengan semangat baru.

"Thanks ya, Kak Andre, Purdi," ucap Ginen tulus, matanya masih terpaku pada pelangi di kejauhan. "Besok aku mau coba presentasi ke client yang minggu lalu. Kali ini aku nggak akan ragu-ragu lagi."

"Nah, gitu dong!" Purdi menepuk bahu Ginen, senyumnya lebar dan tulus. "Yang penting percaya sama kemampuan sendiri. Tanpa keberanian, kita nggak akan pernah tau seberapa jauh kita bisa melangkah."

KRL terus melaju menuju Bogor, membelah sore yang mulai temaram. Lampu-lampu mulai menyala di sepanjang rel, berbaur dengan cahaya senja yang keemasan. Di luar, pelangi masih setia menghiasi langit sore. Ginen tersenyum, kali ini dengan keyakinan baru. Ia sadar, selama ini yang menghalanginya bukanlah ketidakmampuan, melainkan ketakutannya sendiri.

Dua minggu kemudian, di sebuah sore yang cerah, Ginen berdiri di depan meja kerjanya dengan tangan gemetar bahagia. Ia baru saja menyelesaikan transaksi pertamanya - sebuah unit apartemen yang terjual pada pasangan muda yang terkesan dengan presentasinya yang percaya diri. Saat rekan-rekan di kantor memberinya selamat, ia teringat percakapan di KRL sore itu. Tentang hujan yang membasahi, tentang pelangi yang memberi harapan, dan tentang keberanian untuk percaya pada diri sendiri.

"Ini baru permulaan," bisiknya dalam hati sambil memandang sertifikat penjualan pertamanya yang terpajang di meja. Sinar matahari sore menerobos masuk melalui jendela kantor, menciptakan bias cahaya keemasan di permukaan sertifikat itu. "Masih banyak pelangi yang harus kukejar."

Di luar kantornya, hujan kembali turun membasahi Jakarta. Tapi kali ini Ginen tidak lagi takut. Matanya berbinar menatap titik-titik air yang menari di kaca jendela kantornya. Ia tahu, di balik setiap hujan, selalu ada pelangi yang menanti. Dan kini, ia siap mengejar setiap pelangi itu dengan keyakinan penuh dalam setiap langkahnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.