Pemerintah Susun Kriteria Daftar Perusahaan Kena Pajak Minimum Global
Pemerintah akan menyusun kriteria perusahaan multinasional yang akan dikenakan pajak minimum global atau GMT.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berencana menyusun kriteria perusahaan multinasional yang akan dikenakan atau global minimum tax (GMT).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan formulasi acuan perusahaan multinasional itu bertujuan agar penerapan pajak minimum global atau GMT tidak mengganggu insentif pajak yang sudah diberikan kepada investor.
"Kami harus melihat terutama kriteria multinasional korporasi," kata Airlangga saat ditemui di sela-sela Penutupan Musyawarah Nasional Konsolidasi Kamar Dagang dan Industri alias Kadin di Hotel Ritz Carlton Jakarta pada Kamis (16/1).
Pemberlakuan pajak minimum global atau GMT telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global pada 31 Desember 2024.
Regulasi yang mulai berlaku pada 2025 itu menetapkan tarif pajak minimun sejumlah 15% bagi entitas atau badan usaha multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal € 750 juta.
Jika tarif pajak efektif perusahaan kurang dari 15%, wajib pajak harus membayar pajak tambahan atau top-up paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya.
Sebagai contoh, untuk tahun pajak 2025, pajak tambahan harus dibayar paling lambat 31 Desember 2026. Wajib pajak yang terkena ketentuan ini harus melapor paling lambat 15 bulan setelah tahun pajak berakhir.
Ketentuan pajak minimum global atau GMT merupakan hasil kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh Organization for Economic Cooperation and Development alias OECD.
Airlangga menekankan penyusunan daftar kriteria perusahaan multinasional bakal menjadi instrumen penting agar penerapan pajak minimum global alias GMT tidak mengganggu manfaat insentif pajak yang berlaku di Indonesia, seperti tax holiday.
Kekhawatiran itu berangkat dari asumsi apabila tarikan pajak di Indonesia lebih rendah dari 15%, maka selisihnya dapat dikenakan oleh negara asal perusahaan multinasional. Hal ini dapat berdampak pada manfaat insentif di Indonesia menjadi kurang maksimal.
"Jadi kami melihat secara detail perusahaan beroperasi di Indonesia, apalagi pemerintah sudah memberikan beberapa insentif pajak, termasuk tax holiday. Jangan sampai apa yang sudah pemerintah berikan dimanfaatkan oleh negara lain," ujar Airlangga.