Polemik Proyek PT BTID di Pulau Serangan Bali, Apa yang Terjadi?

Polemik investasi dan proyek PT BTID di Pulau Serangan, Bali. Dinilai menyebabkan penyusutan wilayah akibat reklamasi hingga pembatasan akses nelayan.

Polemik Proyek PT BTID di Pulau Serangan Bali, Apa yang Terjadi?

TEMPO.CO, Jakarta - Pengembangan pariwisata di sudah berjalan sangat masif selama beberapa dekade terakhir. Pada prosesnya, pembangunan fisik di Pulau Dewata diiringi banyak tantangan seperti alih fungsi lahan, perubahan lanskap Bali, ketahanan budaya, keselamatan lingkungan, hingga kesejahteraan masyarakat lokal.Misalnya, Investasi dan Pembangunan yang dilakukan PT Bali Turtle Island Development (BTID) di Pulau Serangan yang dinilai melakukan privatisasi kawasan hingga memengaruhi aktifitas maritim nelayan.       

Sebelumnya, pada Selasa, 4 Februari 2025, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali bersama Kekal (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup), dan Frontier (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali menggelar konferensi pers guna mengkritisi sejumlah aktivitas pembangunan oleh PT BTID di Pulau Serangan.

Baca berita dengan sedikit iklan,

slot-iklan-300x600

“Reklamasi di Serangan itu, secara nggak langsung sudah merampas lahan Desa Serangan dari yang tadinya luasanya itu 111 hektar itu kian hari menyusut menjadi 45 hektaran,” kata Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata kepada media di Kubu Kopi Bali, Denpasar pada Selasa, 4 Februari 2025.

Dalam konferensi pers tersebut, Walhi menyebut reklamasi yang dilakukan oleh PT BTID menghasilkan penambahan panjang garis pantai. Adapun panjang garis pantai setelah reklamasi adalah sepanjang 20 kilometer (km). Kendati demikian, 17, 5 km panjang garis pantai telah dikelola oleh PT BTID. Sehingga menurut Walhi, sebelum dilakukannnya reklamasi masyarakat bisa mengakses garis pantai sepanjang 13,5 km, namun sekarang masyarakat hanya bisa memanfaatkan garis pantai sepanjang 2,5 km. 

Selain itu, kanal wisata yang membatasi wilayah Desa Serangan dengan Kawasan PT BTID juga dinilai menjadi bentuk privatisasi lahan yang dilakukan oleh perusahaan pengembangan itu. Pada kanal ini, menurut catatan Walhi, telah dijanjikan akan dibangun jembatan penghubung. Kendati demikiaan, pembangunan jembatan tidak juga terealisasi hingga saat ini.

Dalam kesempatan tersebut, Walhi selanjutnya menyorot pengajuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari pihak PT BTID ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali yang menimbulkan kekhawatiran bahwa akses nelayan terhadap perairan akan semakin dibatasi. Bahkan, pembatasan akses perairan ini, kata Walhi, juga ditunjukan dengan adanya pemasangan pagar pelampung yang menutup akses masuk nelayan ke perairan di kawasan PT BTID.

Dilansir dari catatan Walhi, pagar laut itu memiliki panjang sekitar 143 meter yang terbentang dari barat laut ke arah tenggara. Karenanya, penutupan kawasan teluk ini dinilai mengarah pada upaya privatisasi perairan oleh PT BTID seluas 46,83 hektar.

“Pemasangan pelampung itu kami kecam keras karena menurut kami nggak ada dasarnya BTID masang pelampung, kendati pun klaimnya itu adalah untuk pengamanan dari indikasi penyeludupan BBM liar seperti apa yang sempat dikatakan presiden komisaris utamanya, Bapak Tanto Wiyahya, itu menurut kami suatu bentuk hal yang mengada-ngada,” kata Krisna.

Adapun menyoal pembatasan ini, Made Sugita, salah satu nelayan dari Desa Serangan mengaku terganggu dengan pemasangan pelampung tersebut, pasalnya wilayah tersebut merupakan wilayah yang cukup produktif.Konferensi Pers Walhi Bali, Kekal dan Frontier di Kopi Kubu Bali pada Selasa, 4 Februari 2025. Foto: TEMPO/Trisna Cintya

Karena itu, dia meminta agar masyarakat dibebaskan kembali untuk mencari ikan hingga budidaya rumput laut di wilayah tersebut.

“Dibebaskan saja dia ke sana, dia nggak pakai perahu, mau pasang jaring di sana, cari ikan dia kan bebas dia di sana kayak saya dulu, pernah pelihara rumput saya di sana. Sekarang sudah nggak bisa, sudah benar-benar dibatasi,” kata Made Sugita saat ditemui Tempo di Desa Serangan, pada Jumat, 7 Februari 2025.

Selain itu, dia juga menantikan realisasi jembatan penghubung yang dijanjikan PT BTID untuk memudahkan akses ke perairan lepas, apalagi dia menilai wilayah tersebut ideal untuk pelabuhan kapal karena lebih luas dibandingkan pelabuhan kapal nelayan saat ini.

Kemudian, dia mengungkapkan, apabila nelayan ingin mengakses wilayah perairan melalui kawasan PT BTID, nelayan harus membawa tanda pengenal. Hal ini diamini oleh Lurah Serangan, Wayan Sukanami. “Dari BTID sudah memberikan akses yaitu berupa tanda pengenal dan rompi. Rompi untuk keselamatan, karena kan sekarang sedang ada pembangunan di BTID, akses itu ada,” kata dia saat dihubungi Tempo pada Jumat, 7 Februari 2025.

Adapun menurutnya terdapat sekitar 400 nelayan yang telah memiliki akses berupa id card dan rompi keselamatan. Sementara itu, ketika ditanya perihal wilayah perairan mana saja yang dapat diakses masyarakat disepanjang garis pantai kawasan BTID dia mengaku tidak tahu menahu.

Disinggung soal pembangunan jembatan, Sukanami, mengatakan bahwa benar pernah ada MoU terkait rencana tersebut. “Dalam MoU itu akan dibuatkan jembatan, kemarin wakil rakyat datang kan minta segera direalisasikan karena MoU nya itu terjadi sekitar 27 tahun yang lalu,” ujarnya.

Di sisi lain, ditemui pada kesempatan berbeda, PT BTID menegaskan tidak ada pembatasan ruang terhadap warga Serangan.

“Menanggapi pernyataan tentang perampasan ruang hidup masyarakat Serangan, manajemen BTID menegaskan kembali bahwa hal itu tidak benar. Masyarakat masih bisa mengakses laut, pantai dan mangrove seperti wilayah pesisir, petani rumput laut, dan pembudidaya terumbu karang yang beraktivitas normal hingga hari ini,” kata Head of Communication PT BTID, Zakki Hakim, saat ditemui Tempo di UID Bali Campus pada Kamis, 6 Februari 2025.

Bahkan, menurut dia, pihaknya selama ini telah berupaya mendukung aktivitas sosial ekonomi hingga spiritual masyarakat Desa Serangan. “Selain akses terhadap mata pencaharian, selama ini PT BTID terus mendukung masyarakat Desa Serangan dan warga umat Hindu Bali untuk dapat melakukan ritual keagamaan di delapan pura yang ada di dalam kawasan secara rutin,” ujarnya.

Dia menambahkan, “bahkan pada akhir Desember kemarin, pada 2024 lebih dari 2000 warga Serangan melaksanakan ritual ‘Memintar’ yang merupakan ritual tahunan sejak tahun 60-an setiap tahun sekali di bulan Desember di akhir tahun dilakukan untuk memohon keselamatan Pulau Serangan secara keseluruhan, dengan berjalan mengelilingi pulau yang meliputi juga Kawasan Ekonomi Khusus Kura-Kura Bali,” kata dia.

Adapun Zakki mengatakan, wilayah perairan yang dapat diakses nelayan sebenarnya masih luas, sebab perairan yang dibatasi pelampung oleh PT BTID berada di Kawasan pembangunan. Selain itu, nelayan masih bisa melaut di wilayah lainnya.

Lebih lanjut, alasan pemasangan pelampung itu, kata Zakki, pada dasarnya dilakukan untuk menjaga wilayah tersebut tetap steril dari kegiatan ilegal, sebab berapa kali terjadi kasus kriminal hingga pembuangan mayat. Sehingga, dia mengklaim tindakan ini sebagai upaya preventif yang ditempuh PT BTID.

Adapun pengaturan ini, kata dia, hanya sementara.  “Ini juga kan, katakanlah bukan pengaturan permanen, ini cuma sementara,” ujarnya. 

Kemudian, menanggapi perihal pengajuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), dia menyebut, langkah ini merujuk pada aturan terbaru bahwa semua pihak yang melakukan usaha di area laut harus mengajukan izin KKPRL, baik itu jalan tol yang ada di atas laut, pertanian rumput laut atau warga serangan yang memiliki dermaga wajib mengajukan KKPRL.

“KKPRL itu adalah izin pengusahaan, bukan penguasaan,” kata dia.

Ditanya soal kekhawatiran masyarakat mengenai pembatasan akses atas pengusahaan perairan yang telah diajukan, dia menegaskan PT BTID hanya berpegang pada regulasi yang berlaku.

Kendati demikian, Zakki meyakini pembangunan fasilitas pariwisata di Pulau Serangan saat ini bakal turut berkontribusi terhadap pertumbuhan pariwisata dan ekonomi masyarakat setempat. Sebab, nantinya kunjungan wisatawan tidak akan terpusat namun menyebar di seluruh pulau, untuk merasakan pengalaman wisata yang beragam. Apalagi, kata dia, ada 55 proyek pembangunan di Pulau Serangan, salah satu yang digodok saat ini adalah pembangunan distrik marina.

Untuk diketahui, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut mendefinisikan, kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang selanjutnya disingkat KKPRL adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang laut dengan RTR dan/atau RZ.

Selain itu, pada 2023 kawasan PT BTID Pulau Serangan telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2023 Tentang Kawasan Ekonimi Khusus (KEK) Kura-Kura . KEK Kura-Kura Bali dalam peraturan ini disebutkan memiliki luas 498 hektar.  

Ni Kadek Trisna Cintya Dewi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: