Afsel khawatir akan 'propaganda' AS soal UU tanah dan gugatan genosida

Afrika Selatan (Afsel) pada Sabtu (8/2) menyatakan prihatin atas "propaganda" dan "misinformasi" ...

Afsel khawatir akan 'propaganda' AS soal UU tanah dan gugatan genosida

Johannesburg (ANTARA) - Afrika Selatan (Afsel) pada Sabtu (8/2) menyatakan prihatin atas "propaganda" dan "misinformasi" Amerika Serikat setelah Presiden AS Donald Trump membekukan bantuan kepada negara tersebut.

Trump baru-baru ini membekukan bantuan untuk Afsel setelah negara itu mengesahkan undang-undang baru tentang perampasan tanah serta gugatan Pretoria terhadap Israel atas dugaan genosida.

“Kami prihatin dengan apa yang tampaknya sebagai kampanye misinformasi dan propaganda yang bertujuan untuk menyajikan citra keliru tentang negara kami yang hebat," tulis Kementerian Luar Negeri Afsel dalam sebuah pernyataan.

"Sangat mengecewakan melihat narasi semacam itu justru mendapat dukungan dari para pembuat kebijakan di Amerika Serikat,” demikian pernyataan Kemenlu Afsel.

Afsel menyatakan hal itu setelah Trump mengatakan AS “tidak dapat mendukung tindakan melanggar hak-hak asasi manusia oleh pemerintah Afrika Selatan di negaranya sendiri atau upayanya yang melemahkan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, yang berpotensi mengancam keamanan nasional negara, sekutu, dan mitra kami di Afrika, serta kepentingan kami.”

Trump juga menyebut gugatan genosida Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) dan hubungan Pretoria yang semakin erat dengan Iran sebagai alasan pemutusan bantuan.

Afrika Selatan menegaskan bahwa satu-satunya bantuan yang diterima dari AS adalah untuk program pencegahan HIV/AIDS di negara tersebut.

Perintah eksekutif Trump juga mencakup ketentuan untuk memberikan status pengungsi di AS bagi orang-orang Afrikaner, kelompok etnis keturunan Belanda di Afrika Selatan, dengan alasan bahwa mereka mengalami diskriminasi berbasis ras yang diduga disponsori pemerintah.

"Ironisnya, perintah eksekutif Trump justru memberikan status pengungsi bagi kelompok yang secara ekonomi masih tergolong paling diuntungkan di Afrika Selatan, sementara orang-orang yang rentan dari belahan dunia lain justru dideportasi dan ditolak suakanya oleh AS meskipun mereka menghadapi kesulitan nyata," tambah Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan.

Sejak menjabat bulan lalu, Trump telah memulangkan ratusan migran tidak berdokumen dari AS serta memperketat perbatasan agar tidak ada yang masuk secara ilegal.

Afrika Selatan menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan setiap kesalahpahaman atau perselisihan melalui jalur diplomasi.

Namun, Pretoria juga menyatakan keprihatinan terhadap dasar perintah eksekutif AS yang dianggap “tidak akurat secara faktual dan gagal mengakui sejarah panjang serta menyakitkan Afrika Selatan yang dipenuhi kolonialisme dan apartheid.”

Undang-undang perampasan tanah yang baru bertujuan untuk mengatasi ketidakadilan di masa apartheid dan memungkinkan pengambilalihan lahan tanpa kompensasi dalam kondisi yang dianggap "adil, layak, dan demi kepentingan publik."

Masalah kepemilikan lahan menjadi isu sensitif di Afrika Selatan, di mana sebagian besar sumber daya alam masih dikuasai oleh segelintir orang kulit putih.

Selama era apartheid, kebijakan rasial yang diskriminatif mengusir paksa penduduk kulit hitam dan non-kulit putih dari tanah mereka.

Meskipun apartheid telah berakhir, hingga kini mayoritas lahan pertanian komersial di negara tersebut masih dimiliki oleh orang kulit putih, terutama keturunan Afrikaner dari pemukim Belanda.

Presiden Afsel Cyril Ramaphosa berharap undang-undang perampasan lahan ini dapat membantu mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah yang berasal dari pemukiman kolonial dan kebijakan segregasi rasial yang diterapkan selama pemerintahan minoritas kulit putih.

Perlu dicatat bahwa Afrika Selatan adalah negara pertama yang membawa Israel ke ICJ atas perang genosida yang dilancarkannya di Gaza.

Konflik tersebut berhenti bulan lalu setelah gencatan senjata antara Israel dan kelompok perjuangan Palestina, Hamas, mulai berlaku.

Lebih dari 46.000 orang telah tewas di Gaza akibat serangan udara Israel sejak 7 Oktober 2023.

Sumber: Anadolu

Baca juga:

Baca juga:

Penerjemah: Primayanti
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2025