Populisme dan Diplomasi Tanpa Haluan 100 Hari Pemerintahan Prabowo
Kebijakan pemerintahan Prabowo selama 100 hari pertama belum menunjukkan strategi yang jelas.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah berjalan 100 hari, tetapi euforia politik yang diharapkan justru dirusak oleh ketidakjelasan arah kepemimpinan. Di dalam negeri, pemerintahan ini lebih sibuk mencari validasi melalui kebijakan populis yang bersifat kosmetik daripada menyelesaikan persoalan struktural.
Sementara, di kancah internasional, keaktifan diplomasi Prabowo justru tampak kehilangan arah. Berbagai langkah yang dilakukan tidak memperkuat posisi strategis Indonesia. Seratus hari bukan bulan madu politik, melainkan awal dari pemerintahan yang berjalan di tempat.
Populisme Kosmetik: Gema Kebijakan Lama
Salah satu program utama pemerintahan Prabowo adalah Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diperhitungkan akan menjangkau 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir 2025. Pemerintah mempromosikan program ini sebagai solusi untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah dan mendorong ekonomi lokal. Namun, realitas di lapangan menunjukkan, MBG lebih mencerminkan pendekatan populisme instan daripada upaya transformatif.
Dengan anggaran sebesar Rp71 triliun untuk tahun 2025, MBG adalah program yang mahal, tetapi tidak memiliki kejelasan keberlanjutan. Rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang stagnan di kisaran 10,3% menunjukkan bahwa pemerintah kesulitan mendanai program ini tanpa memperbesar utang. Sebagai perbandingan, Vietnam memiliki rasio pajak 18% dan Filipina mencapai 16% yang memungkinkan kedua negara tersebut memiliki fleksibilitas fiskal lebih besar.
Selain itu, implementasi MBG menghadapi masalah serius. Laporan dari beberapa daerah menunjukkan ketidakmerataan distribusi, kualitas makanan yang tidak sesuai standar, dan kurangnya infrastruktur pendukung di sekolah-sekolah penerima manfaat. Alih-alih menciptakan kemandirian pangan, MBG justru memperpanjang pola subsidi konsumtif tanpa memperkuat sektor pertanian lokal. Pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan sistem pangan yang berkelanjutan, seperti pemberdayaan petani lokal melalui modernisasi teknologi pertanian.
Pendekatan serupa terlihat dalam kebijakan pembatalan kenaikan PPN. Langkah ini populer di mata publik, tetapi mengorbankan pendapatan negara yang sangat dibutuhkan untuk membiayai sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Tanpa reformasi fiskal yang berani, kebijakan ini hanya memperpanjang ketergantungan pada utang, menciptakan ilusi stabilitas ekonomi yang rapuh.
Diplomasi Aktif, tetapi Kehilangan Arah
Di tingkat internasional, pemerintahan Prabowo memperlihatkan langkah yang agresif. Namun, keaktifan ini sering kali tampak serampangan dan kurang mempertimbangkan prioritas strategis. Contoh yang mencolok adalah joint statement dengan Tiongkok terkait Laut Cina Selatan Dalam dokumen tersebut, Indonesia mencoba menegaskan posisinya terhadap kebebasan navigasi dan kepatuhan pada hukum internasional. Namun, retorika dalam pernyataan ini terasa overclaim dan mengabaikan memori institusional dari kebijakan luar negeri Indonesia sebelumnya.
Indonesia selama ini dikenal sebagai penengah dalam konflik Laut Cina Selatan, dengan peran yang mengutamakan dialog melalui kerangka ASEAN. Namun, joint statement justru menempatkan Indonesia dalam posisi yang lebih konfrontatif tanpa langkah konkret untuk mendukung klaim tersebut. Alih-alih memperkuat solidaritas ASEAN, langkah ini berisiko melemahkan posisi kolektif kawasan dalam menghadapi rivalitas AS-Tiongkok.
Keputusan untuk bergabung dengan BRICS adalah contoh lain dari diplomasi yang kehilangan arah. BRICS — yang awalnya difokuskan pada kerja sama ekonomi — kini lebih bercorak geopolitik, terutama setelah ekspansi keanggotaan yang didominasi negara-negara dengan kepentingan politik luar negeri yang berbeda. Langkah Indonesia untuk aktif di forum ini terlihat hanya sebagai upaya membangun citra global ketimbang langkah strategis yang berdampak langsung pada perekonomian dalam negeri.
Negara-negara seperti Vietnam dan Filipina menunjukkan pendekatan yang lebih pragmatis. Vietnam, misalnya, berhasil memanfaatkan ketegangan geopolitik untuk menarik investasi langsung dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sedangkan Filipina mengambil sikap tegas terhadap Tiongkok dalam isu Laut Cina Selatan sambil tetap menjaga hubungan ekonomi yang saling menguntungkan. Indonesia, di bawah pemerintahan Prabowo, justru terlihat sibuk mencari panggung di forum global tanpa arah yang jelas.
Lebih parah lagi, keaktifan Prabowo di panggung internasional seringkali mengorbankan prioritas utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia, yakni ASEAN. Sebagai pemimpin de facto kawasan, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa ASEAN tetap relevan di tengah rivalitas global.
Namun, seratus hari pertama ini menunjukkan minimnya perhatian terhadap krisis regional, seperti situasi di Myanmar yang terus memburuk. Ketidakhadiran Prabowo dalam memimpin ASEAN memperlihatkan bahwa pemerintah lebih sibuk dengan langkah simbolik daripada mengelola kepentingan strategis kawasan.
Mencari Validasi Tanpa Strategi
Baik di dalam negeri maupun di panggung internasional, langkah-langkah pemerintahan Prabowo menunjukkan pola yang sama: sibuk mencari validasi, tetapi gagal menyusun strategi jangka panjang. Di dalam negeri, program populis seperti MBG dan pembatalan kenaikan PPN adalah langkah untuk menjaga tingkat kepuasan publik jangka pendek. Di luar negeri, keanggotaan BRICS dan joint statement di Laut Cina Selatan adalah upaya membangun citra global, tetapi tanpa manfaat konkret bagi rakyat Indonesia.
Langkah-langkah ini tidak efektif, tetapi juga berisiko merusak kredibilitas Indonesia di mata dunia. Ketika negara-negara lain di ASEAN memperkuat posisi mereka melalui diplomasi yang terfokus dan pragmatis, Indonesia justru terlihat seperti penonton yang aktif tanpa arah. Ambisi Prabowo untuk tampil sebagai pemimpin global tidak akan tercapai jika pemerintah terus mengabaikan tantangan domestik dan regional.
Keberanian Politik untuk Menentukan Arah
Seratus hari pertama ini telah menunjukkan pola kepemimpinan yang mengkhawatirkan: sibuk dengan langkah populis di dalam negeri dan diplomasi tanpa arah di luar negeri. Pemerintahan ini bukan hanya melanjutkan pola lama, tetapi juga kehilangan peluang besar untuk menegaskan diri sebagai aktor yang visioner dan transformatif.
Namun, tidak cukup waktu untuk membuktikan diri. Jika Prabowo terus berjalan di jalur ini, ia bukan hanya akan kehilangan momentum, melainkan juga menciptakan preseden bahwa kepemimpinan Indonesia dapat diukur dengan langkah simbolis, bukan substansi. Dunia menunggu apakah Indonesia dapat menjadi jangkar stabilitas kawasan. Namun, kesalahan langkah justru mengarah pada hilangnya relevansi Indonesia, baik di ASEAN maupun di tatanan global.
Indonesia adalah negara besar yang tidak cukup hanya tampil aktif. Keaktifan yang salah arah lebih berbahaya daripada pasif. Pemerintahan ini harus segera berubah arah. Reformasi fiskal, penguatan sektor pertanian, dan kebijakan luar negeri yang terintegrasi adalah langkah minimum yang harus dilakukan. Jika tidak, Prabowo akan tercatat bukan sebagai presiden transformatif, melainkan sebagai pemimpin yang sibuk berlari tanpa tahu ke mana tujuannya.