Tantangan Ekonomi 100 Hari Prabowo: PHK, Pelemahan Daya Beli dan Tekanan Fiskal

Di 100 hari pertama, Presiden Prabowo Subianto menghadapi berbagai tantangan ekonomi global dan domestik, memprioritaskan program-program yang berdampak pada APBN 2025.

Tantangan Ekonomi 100 Hari Prabowo: PHK, Pelemahan Daya Beli dan Tekanan Fiskal

Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah memasuki 100 hari pertama pada Januari 2025. Dalam periode ini, berbagai tantangan ekonomi muncul, mulai dari ketidakpastian global hingga program prioritas yang berpotensi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti bahwa pemerintahan Prabowo dihadapkan pada ketidakpastian global yang tinggi.

“Pemerintah mencoba menjawab tantangan eksternal, terutama ketidakpastian global,” kata Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef, M Rizal Taufikurahman, dalam diskusi publik "100 Hari Asta Cita" (29/1).

Meskipun demikian, Rizal mengakui bahwa stabilitas harga dan nilai tukar rupiah relatif terkendali dalam periode ini.

Namun, ia menekankan bahwa keberlanjutan stabilitas ekonomi sangat bergantung pada respons pemerintah terhadap tekanan global serta pengelolaan fiskal yang lebih efisien.

“Stabilitas ini juga sangat tergantung pada respons pemerintah terhadap tekanan eksternal serta pengelolaan yang jauh lebih efisien,” ujarnya.

Penurunan Impor dan Dampak terhadap Investasi

Pada masa awal pemerintahan Prabowo, indeks impor menunjukkan penurunan signifikan, terutama pada barang konsumsi, barang modal, dan bahan baku. Berdasarkan data Bank Indonesia, penurunan barang konsumsi pada Desember 2024 mencapai 16,91%, sedangkan barang modal turun 10,57%.

“Penurunan barang konsumsi ini mencerminkan lemahnya daya beli domestik, sementara penurunan barang modal mengindikasikan melambatnya aktivitas investasi di sektor publik maupun swasta,” ujar Rizal.

Selain itu, penurunan impor bahan baku sebesar 5,22% dikhawatirkan berdampak pada kapasitas produksi domestik, terutama sektor manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor.

Evaluasi Kabinet Prabowo dan Potensi Perombakan

Center of Economic and Law Studies (Celios) memberikan penilaian kurang memuaskan terhadap kinerja kabinet Prabowo-Gibran. “Banyak pihak menilai bahwa kabinet perlu perombakan, dengan 88% responden menyatakan reshuffle harus dilakukan dalam enam bulan pertama,” kata Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar.

Menurut Media, tata kelola anggaran kabinet mendapat penilaian buruk dengan 52% responden menyatakan sangat mengecewakan. Celios juga menyoroti lemahnya kolaborasi antar lembaga serta minimnya intervensi di sektor ekonomi.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, menambahkan bahwa banyak indikator ekonomi yang mengkhawatirkan, seperti meningkatnya imbal hasil surat utang pemerintah dan turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5,82% dalam tiga bulan terakhir.

“Belum lagi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor padat karya serta pelemahan daya beli yang berlanjut. Ini menjadi rapor merah bagi tim ekonomi Prabowo,” ujar Bhima.

Daya Beli Kelas Menengah Belum Pulih

Sementara Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menyoroti permasalahan daya beli kelas menengah yang belum pulih sepenuhnya.

“Permintaan dari kelas menengah yang belum pulih perlu disembuhkan,” kata Faisal (30/1).

Namun, ia menegaskan bahwa perbaikan konsumsi kelas menengah tidak bisa dicapai dalam jangka pendek, melainkan membutuhkan kebijakan yang konsisten dalam meningkatkan pendapatan dan menekan biaya hidup.

Anggaran Makan Bergizi Gratis Bengkak

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dianggarkan sebesar Rp 71 triliun mengalami potensi pembengkakan hingga Rp 100 triliun pada tahun ini. Dalam studi Celios, 83% responden menilai program ini sebaiknya dibiayai melalui anggaran pemerintah, sementara 79% menolak penggunaan pinjaman luar negeri.

Peneliti Celios, Jaya Darmawan, menegaskan bahwa pendanaan MBG harus berasal dari sumber yang tidak berisiko. “Jangan sampai anggaran diambil dari perlinsos, dana pendidikan, atau dana desa yang signifikan dalam meningkatkan pembangunan manusia secara merata,” ujar Jaya.

Ia menyarankan agar pemerintah menggunakan kebijakan fiskal progresif, seperti pajak kekayaan, pajak produksi sektor ekstraktif, windfall profit tax, serta realokasi anggaran yang kurang efektif.

Masalah Coretax dan Efisiensi APBN

Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang diluncurkan Direktorat Jenderal Pajak juga menuai kritik. Rizal dari Indef menilai sistem ini memang bertujuan meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan memperluas basis pajak, namun dalam jangka pendek malah memperumit pelaporan pajak, terutama bagi UMKM.

“Biaya pengembangan Coretax juga tidak murah dan dapat mempengaruhi fiskal serta keselarasan kebijakan dengan dunia usaha,” kata Rizal.

Sementara untuk menutupi beban anggaran dari berbagai program prioritas, pemerintah melakukan pemangkasan anggaran hingga Rp 306,69 triliun sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.

“Dalam jangka pendek, langkah ini dapat mengurangi belanja yang kurang produktif, namun jika tidak dilakukan dengan hati-hati, bisa memperlambat layanan publik,” ujar Media dari Celios.

Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini mengarah pada sentralisasi fiskal, yang berpotensi mengurangi otonomi daerah dalam pengelolaan anggaran.

“Pendapatan negara belum cukup untuk menutupi ambisi Prabowo-Gibran, terutama karena tekanan utang, proyek IKN, dan subsidi energi,” tambahnya.

Secara keseluruhan, evaluasi 100 hari pemerintahan Prabowo mencerminkan berbagai tantangan besar, terutama dalam menjaga stabilitas ekonomi, memperbaiki daya beli masyarakat, dan mengelola anggaran negara secara efisien.