Temuan HGB di Atas Laut Surabaya Picu Kontroversi dan Sorotan Publik
Temuan HGB di Atas Laut Surabaya Picu Kontroversi dan Sorotan Publik. ????Temuan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut Surabaya memicu kontroversi. Ahli dan DPRD menyoroti pelanggaran aturan serta dampak lingkungan dan sosial. -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp
Surabaya (beritajatim.com) – Surabaya diguncang dengan kabar mengejutkan tentang keberadaan Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 656 hektare di atas perairan laut, tepatnya di kawasan timur Eco Wisata Mangrove Gunung Anyar. Fenomena ini memicu kontroversi karena dianggap melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-XI/2013 yang melarang pemanfaatan ruang laut untuk kepentingan privat atau komersial.
Data dan Koordinat HGB
Informasi ini diungkapkan melalui cuitan akun media sosial X,
@thanthowy, yang menyebutkan bahwa HGB tersebut tercatat pada
situs resmi Kementerian ATR/BPN (bhumi.atrbpn.go.id). Tiga
titik koordinat yang diungkap adalah:
- 7.342163°S, 112.844088°E
- 7.355131°S, 112.840010°E
- 7.354179°S, 112.841929°E
Data ini memunculkan dugaan adanya pelanggaran aturan tata ruang, mengingat laut merupakan ruang publik yang tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Tanggapan Ahli dan Pemerintah
Reno Eza Mahendra, peneliti dari pusat kajian perkotaan
Urbaning, menyebut temuan ini sebagai bentuk ketidaksinkronan
antara aturan hukum dan praktik administrasi pertanahan. “Jika
benar ada HGB di atas laut, ini pelanggaran serius yang
merugikan masyarakat luas,” ujar Reno.
Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan, juga menegaskan pentingnya sinergi antara Pemerintah Kota Surabaya, Pemprov Jawa Timur, dan Kementerian ATR/BPN untuk menyelesaikan masalah ini. Eri mendorong penerapan prinsip green economy dan blue economy untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir, terutama ekosistem mangrove di kawasan Pamurbaya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Surabaya, Arif Fathoni, mendesak Kementerian ATR/BPN untuk segera membatalkan pemberian HGB tersebut. Ia menilai penerbitan HGB tanpa dasar yang sah merupakan tindakan cacat prosedur. “Jika tidak ada bangunan fisik, HGB tidak boleh diterbitkan,” tegas Fathoni.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Eri menyoroti potensi kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai aturan, termasuk risiko abrasi dan
hilangnya ekosistem mangrove. Selain itu, ia mengingatkan
pentingnya pembangunan berkelanjutan yang mendukung ekonomi
masyarakat nelayan.
Langkah Selanjutnya
DPRD Surabaya mendesak investigasi mendalam untuk mengungkap
fakta di balik penerbitan HGB di atas laut ini. Jika ditemukan
pelanggaran hukum, Polda Jawa Timur diminta untuk mengusut
tuntas kasus tersebut guna mencegah eksploitasi lebih lanjut
terhadap ruang publik. [asg/beq]