Utak-Atik Lahan untuk Pangan

Berbagai program yang ingin direalisasikan pemerintah, semestinya tidak mengorbankan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Utak-Atik Lahan untuk Pangan

Di tengah kondisi luas lahan pertanian di Indonesia yang semakin berkurang, pemerintah kini menyiapkan kebijakan yang memungkinkan konversi lahan pertanian demi menyukseskan program 3 juta rumah dan hilirisasi. Benturan peruntukan lahan untuk berbagai kepentingan pembangunan sejatinya bukan fenomena baru. Namun, kebijakan yang tak terarah hanya akan menambah beban pada berbagai lini.

Swasembada pangan merupakan program prioritas pemerintah saat ini. Bahkan Presiden Prabowo menargetkan swasembada beras dan jagung tercapai pada 2027. Target tersebut mustahil tercapai tanpa dukungan ketersediaan lahan. Di sisi lain, pemerintah juga menggulirkan program pembangunan jutaan rumah untuk masyarakat serta agenda hilirisasi industri, yang tentu memerlukan penggunaan lahan dalam skala besar. 

Amour Propre Jawa

Tarik menarik kepentingan terkini antara kebutuhan pangan dan pembangunan lantas mendorong pemerintah untuk merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (PP RTRW) Nasional tahun 2025-2045. Rencananya, beleid tersebut memungkinkan lahan sawah dilindungi di Pulau Jawa yang beralih fungsi untuk program 3 juta rumah dan hilirisasi industri, dapat diganti lahan tersebut di luar Pulau Jawa dengan produktivitas sawah yang sama.

Lahan merupakan sumber daya alam yang bersifat terbatas dan tak terbarukan. Alih fungsi atau konversi lahan kerap dijadikan strategi untuk memenuhi berbagai kebutuhan pembangunan. Alih fungsi lahan yang tidak bijak hanya membawa ragam konsekuensi mulai dari degradasi lingkungan, konflik agraria baik vertikal dan horizontal, hingga menjadi ihwal krisis iklim. Bermain strategi perihal konversi lahan sawah dilindungi demi memuluskan program pembangunan, merupakan langkah yang penuh risiko jangka panjang.

Jika menilik sejarah, Harriet Winifred Ponder dalam bukunya berjudul Java Pageant mendeskripsikan Pulau Jawa sebagai amour propre yakni kebanggaan dan kepuasan batin bagi para pelaku usaha pertanian. Ponder mencatat berbagai hal menarik tentang kesuburan pertanian, perkebunan, dan dinamika pertanian di Jawa yang disebut sebagai salah satu yang tersubur di dunia. 

Namun, masa emas itu tampaknya kian memudar. Memasuki era 1990-an, terjadi peningkatan populasi yang signifikan di Pulau Jawa. Fenomena urbanisasi menjadi salah satu musababnya. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2020, jumlah penduduk di Jawa mencapai berkisar 152 juta jiwa. Meski luasannya hanya sekitar 7% dari total luas wilayah Indonesia, Pulau Jawa harus memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, dan infrastruktur bagi lebih dari setengah populasi negara. 

Sebuah menunjukkan laju alih fungsi lahan pertanian di Indonesia saat mencapai 187.720 hektare per tahun, dengan sebagian besar lahan yang dikonversi digunakan untuk pembangunan perumahan dan kawasan industri. Pembangunan perumahan menyumbang 48,96% dari total alih fungsi lahan, diikuti oleh pengembangan kawasan industri (36,50%) dan gedung perkantoran (14,55%). Alih fungsi lahan pertanian ini signifikan terjadi di Jawa.

Perlu diingat bahwa beras masih menjadi makanan utama penduduk Indonesia. Selama ini Pulau Jawa setidaknya menyumbang sekitar 58 – 60% dari total produksi padi nasional. Secara teoretis, volume produksi pangan berbanding lurus dengan luas panen. Apabila luas panen mengalami penurunan, maka volume produksi akan turut berkurang. 

Merujuk data BPS, pada 2023 terjadi penurunan luas lahan sawah di Jawa sekitar 150.993 hektare dibandingkan dengan 2022. Penurunan luasan ini berimplikasi pada anjloknya volume produksi padi hingga 511.225 ton. Guna menutup defisit ketersediaan beras, impor beras pun dibuka. Fenomena ini ibarat siklus yang tak berkesudahan, jauh dari cita-cita swasembada.

Mengakurkan Kepentingan 

Urbanisasi, terutama di daerah peri-urban, telah meningkatkan nilai lahan untuk keperluan pembangunan. Pemilik lahan cenderung memandang bahwa insentif yang lebih besar dapat diperoleh jika lahan dikonversi menjadi lahan non-pertanian, mengingat ongkos usaha pertanian yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Sementara itu, pemerintah daerah mungkin beranggapan bahwa konversi lahan pertanian menjadi permukiman dan industri akan mendatangkan keuntungan lebih besar, terutama dari sektor pajak. Realita pilu bahwa sektor pertanian masih belum menjadi sektor yang atraktif di Indonesia

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 mengamanatkan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan atau (LP2B). Pasal 44 Ayat (1) mengatur bahwa lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dikonversi. Namun, bak dua sisi mata pisau, undang-undang tersebut juga memungkinkan konversi LP2B demi kepentingan umum, asalkan disediakan lahan pengganti. Klausul inilah yang menjadi acuan pemerintah dalam menyusun beleid RTRW Nasional 2025-2045.

Faktanya, alih fungsi lahan pertanian tidak hanya mengancam swasembada pangan, tetapi juga menimbulkan berbagai implikasi negatif. Penurunan luas lahan pertanian berdampak pada ketersediaan pangan lokal, yang pada gilirannya membuat gejolak harga pangan di tingkat konsumen. Selain itu, alih fungsi lahan juga mengancam hilangnya sumber pendapatan bagi petani. Petani yang kehilangan lahan garapan seringkali kesulitan mencari pekerjaan alternatif di sektor non-pertanian, akhirnya menciptakan pengangguran di daerah pedesaan.

Mengharmonisasikan kepentingan antara pangan, papan, dan ambisi pembangunan lainnya tentu bukanlah hal mudah. Namun, hal ini tidak berarti bahwa satu kepentingan harus dikorbankan demi tercapainya kepentingan yang lain. 

Alih-alih mengkonversi lahan pertanian demi pemukiman dan hilirisasi industri, pemerintah semestinya memprioritaskan agenda transmigrasi sebagai win-win solution. Konsorsium Pembaruan Agraria baru-baru ini mendorong pemerintah untuk segera memanfaatkan 7,24 juta hektare tanah yang terindikasi terlantar, yang berasal dari eks Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Sebagian besar tanah tersebut berlokasi di luar Pulau Jawa. 

Melalui program transmigrasi, pemerintah dapat memindahkan penduduk dari wilayah berpenduduk padat di Pulau Jawa, kemudian membekali mereka dengan modal dan pelatihan untuk mengelola sumber daya sesuai dengan peruntukannya. Misal, tanah terindikasi terlantar cocok untuk peruntukan pertanian, maka transmigran dapat diarahkan untuk budidaya tanaman pangan untuk turut berkontribusi pada swasembada pangan.  

Selain itu, program pembangunan 3 juta rumah dapat direalisasikan di kawasan transmigrasi, sehingga transmigran memiliki ekosistem kehidupan yang layak. Langkah ini tidak hanya menjadi solusi untuk backlog perumahan, tetapi juga akan menstimulasi pembangunan infrastruktur di daerah yang selama ini masih tertinggal.

Hilirisasi juga dapat ditargetkan pada kawasan transmigrasi. Ini akan mengakselerasi rangkaian program transmigrasi yang sudah berjalan sejak era kolonial. Dengan demikian kue ekonomi dapat merata secara nasional, tidak hanya dinikmati oleh wilayah atau bahkan pihak tertentu saja.