Ahli Hukum Brawijaya Kritik RUU KUHAP, Dua Pasal Jadi Ancaman Persoalan Kewenangan Jaksa-Polisi

Kritik terhadap dua pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ahli Hukum Brawijaya Kritik RUU KUHAP, Dua Pasal Jadi Ancaman Persoalan Kewenangan Jaksa-Polisi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum dari Universitas Brawijaya (UB) Dr Prija Djatmika mengkritik soal dua pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dua pasal yang dimaksud yakni Pasal 111 Ayat 2 dan Pasal 12 Ayat 11. 

Kedua pasal itu dinilainya dapat menimbulkan persoalan baru antara kepolisian dan kejaksaan.

Dia mengatakan dalam Pasal 111 Ayat (2) RUU saat ini, jaksa diberi kewenangan untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian. 

Padahal seharusnya pasal tersebut mutlak kewenangan dari kepolisian.

Apabila hal ini tetap diterapkan, dikhawatirkan akan menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu.

"Yang benar yang boleh mengontrol hanya Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Jadi ini Pasal 111 ini mending dihapuskan saja, yang Ayat 2," kata Prija kepada wartawan, Rabu (22/1/2025).

Sementara itu, Pasal 12 Ayat 11 RUU menjelaskan bahwa apabila masyarakat melapor tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi, bisa menindaklanjuti ke kejaksaan.

Menurutnya, pasal semacam ini merupakan suatu kemunduran yang sebelumnya, saat era Hindia Belanda hingga Orde Baru, sudah pernah diterapkan tetapi kemudian dihapus.

"Ini memberi peluang jaksa untuk kembali sebagai penyidik, ini merusak tatanan distribusi kewenangan yang sudah diatur bagus dalam , jadi ini langkah mundur. Seharusnya, seperti saat ini, jaksa hanya bisa (menyidik) pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi," ujar Dosen Fakultas Hukum UB itu. 

Dia mengatakan, jaksa tidak berhak menerima laporan masyarakat, kemudian melakukan pemeriksaan dan penuntutannya secara mandiri.

"Ini akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian, jadi penyidik (jaksa) bisa menyidik sendiri, menuntut sekaligus menyidik. Kecuali, memang perkara tindak pidana khusus karena tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat itu extraordinary crime, kejahatan luar biasa," tuturnya. 

Selain itu, dia mengusulkan agar RUU yang baru ini menempatkan jaksa wilayah berkantor di kantor kepolisian.

Hal ini seperti yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni adanya penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum yang bekerja satu atap. 

Hal ini juga perlu demi efektivitas kinerja penanganan suatu perkara hukum, sehingga diharapkan meminimalisasi terjadinya pengembalian berkas perkara yang bolak-balik dari ke jaksa.

Selain itu, diharapkan suatu perkara hukum ketika masuk pengadilan, sudah disertai dengan bukti yang kuat.

"Tetapi, pada saat penyidikan, tetap tugasnya , jaksa bukan koordinasi saja, tapi sinergi dalam rangka collecting evidence atau pengumpulan barang bukti, jaksa dilibatkan setelah penyidikan," ujarnya.