Bahlil ajak investor bangun pabrik LPG demi tekan impor migas
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Bahlil Lahadalia mengajak investor dan pengusaha untuk membangun ...
![Bahlil ajak investor bangun pabrik LPG demi tekan impor migas](https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2025/02/11/IMG_0361.jpeg)
Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Bahlil Lahadalia mengajak investor dan pengusaha untuk membangun pabrik liquified petroleum gas (LPG) di Indonesia demi menekan jumlah impor minyak dan gas (migas).
“Saya undang bapak, ibu semua, investor yang mau, silahkan bangun pabrik LPG. Market-nya captive, pembiayaannya langsung dari Bank Mandiri. Ini captive sekali karena langsung kontrak dengan Pertamina,” kata Bahlil dalam Mandiri Investment Forum (MIF) 2025 yang digelar secara hibrida, Selasa.
Bahlil mengatakan pada tahun 2024, produksi LPG nasional hanya sebesar 1,97 juta metrik ton (MT), sementara konsumsi LPG Indonesia sebesar 8,23 MT untuk yang bersubsidi, dan 0,67 juta untuk nonsubsidi.
Agar bisa memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia harus mengimpor LPG sebanyak 6,91 juta MT pada tahun lalu.
Selain itu, Bahlil mengatakan pemerintah juga sedang membangun fasilitas jaringan gas nasional untuk meningkatkan industri gas dalam negeri dan memenuhi kebutuhan di Jawa dan Sumatra.
“Untuk menutupi supply gas dari Sumatra, dari Jawa Timur, kita lagi membangun pipa gas sebagai ‘jalan tol’ agar bisa memenuhi kebutuhan di Sumatra dan Jawa,” ujar Bahlil.
Sementara itu, Bahlil juga mengungkapkan lifting minyak Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan, dengan 500-600 ribu barel per hari.
Hal ini ia nilai tidak seimbang dengan kebutuhan atau konsumsi minyak nasional yang mencapai sekitar 1,5 hingga 1,6 juta barel per hari.
Pada tahun 2024, produksi minyak nasional tercatat sebesar 212 juta barel, tapi impornya mencapai 313 juta barel dengan rincian 112 juta barel dalam bentuk minyak mentah dan 201 juta barel dalam bentuk BBM.
Tahun lalu, konsumsi BBM nasional adalah sebesar 532 juta barel dengan 52 persen di antaranya untuk sektor transportasi.
“Devisa negara Indonesia harus kehilangan Rp500 T lebih karena impor minyak, dan ini juga mungkin menjadi salah satu faktor kenapa nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah,” kata Bahlil.
“Ini hukum permintaan-penawaran, kalau kita butuh dolar banyak, maka nilai tukar kita akan terkoreksi. Bayangkan, Rp500 T lebih per tahun, neraca perdagangan kita terkoreksi, (pun dengan) neraca pembayaran dan devisa negara,” imbuhnya.
Baca juga:
Baca juga:
Baca juga:
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025