COP30 Brasil akan Soroti Kebutuhan Pendanaan Iklim Negara Berkembang

Brasil berharap kelompok BRICS akan membangun konsensus di antara negara-negara berkembang untuk mendapatkan lebih banyak kontribusi dari negara-negara kaya dalam pembiayaan iklim.

COP30 Brasil akan Soroti Kebutuhan Pendanaan Iklim Negara Berkembang

Ketika para pemimpin dunia bergulat dengan penarikan Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris, melihat peluang untuk memperkuat suara negara-negara berkembang. Tuan rumah COP30 ini akan mendukung upaya negara-negara berkembang untuk mendapatkan pendanan transisi global ke sumber energi yang lebih bersih.

Pada di Azerbaijan pada tahun lalu, pertarungan sengit yang mempertemukan negara-negara kaya dengan negara-negara berpenghasilan rendah berakhir dengan janji dari negara-negara kaya. Mereka akan menyediakan US$ 300 miliar (Rp 4.846,9 triliun) per tahun untuk membantu negara-negara berkembang pada tahun 2035.

Target ini tiga kali lipat lebih besar dari target saat ini sebesar US$ 100 miliar (Rp 1.615,63 triliun). Namun, target ini hanya sebagian kecil dari pendanaan iklim yang dibutuhkan negara-negara berkembang setiap tahun yang mencapai US$ 1,3 triliun. Perjuangan ini kemungkinan besar akan berlanjut tahun ini.

“Sudah sulit untuk mencapai angka US$ 300 miliar dengan Amerika Serikat dalam negosiasi,” ujar Andre Correa do Lago, Presiden COP30 yang baru saja ditunjuk, seperti dikutip Reuters, Kamis (23/1).

Ia menyebut di bawah Presiden Joe Biden, AS telah menerapkan kebijakan-kebijakan baru untuk memerangi perubahan iklim dan berupaya memperkuat peran bank-bank pembangunan multilateral, seperti Bank Dunia, untuk meningkatkan pendanaan proyek-proyek untuk mengurangi pemanasan global.

Tanpa semua tindakan tersebut, Correa do Lago menilai, upaya untuk meningkatkan pendanaan iklim akan lebih sulit.

Terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, negara-negara berkembang bersatu. Bersama-sama, mereka memperluas basis negara-negara yang secara finansial mendukung upaya-upaya mitigasi perubahan iklim dan beradaptasi terhadap dampak-dampaknya di seluruh dunia.

Dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpin Eropa telah menyerukan kepada negara-negara berkembang yang merupakan penghasil polusi besar dan semakin kaya, seperti Cina dan negara-negara Teluk, untuk memberikan kontribusi wajib dalam mengatasi perubahan iklim. Cina, negara terpadat kedua di dunia, sejauh ini merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.

“Apa yang diinginkan oleh negara-negara maju bukanlah meningkatkan sumber daya keuangan, mereka ingin menurunkan kontribusi mereka dalam menyumbangkan sumber daya keuangan dan hal ini secara alamiah dan sangat keliru,” ujar Correa do Lago.

Mundurnya AS juga menimbulkan pertanyaan tentang negara mana yang akan membantu mengarahkan hasil pertemuan iklim global tahun ini. Sebagai salah satu negara dengan perekonomian dan penghasil emisi terbesar di dunia, AS merupakan negara yang berperan penting dalam menegosiasikan hasil-hasil pertemuan COP, bersama dengan Uni Eropa dan Cina.

Mengomentari kemungkinan keluarnya AS dari Perjanjian Paris pada KTT iklim COP29 tahun lalu, utusan iklim Tiongkok Liu Zhenmin mengatakan semua orang berharap Tiongkok dan Uni Eropa bekerja sama untuk mengisi kekosongan ini.

“Ini adalah harapan yang indah, tetapi sebenarnya sulit untuk dilakukan,” ujar Liu seperti dikutip Beijing News.

COP30 Menaruh Harapan pada Anggota BRICS

Correa do Lago menaruh harapan pada kelompok BRICS - yang beranggotakan Brasil, Cina dan negara-negara berkembang lainnya. Kelompok ini diharapkan dapat membantu Brasil membangun konsensus di antara negara-negara berkembang untuk tidak mundur dalam seruan mereka untuk mendapatkan lebih banyak kontribusi dari negara-negara kaya, yang secara historis merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar.

Brasil juga memegang jabatan sebagai ketua BRICS tahun ini. “Kami juga akan berusaha di BRICS untuk mendapatkan beberapa konsensus dan memprovokasi diskusi-diskusi tertentu,” ujar Correa do Lago.

Dalam KTT G20 di Brasil tahun lalu, Brasil dan negara-negara berkembang lainnya berhasil memblokir upaya negara-negara kaya untuk memasukkan seruan bagi negara-negara berkembang untuk membantu pendanaan iklim. Correa do Lago adalah salah satu negosiator utama saat itu.

Correa do Lago memberikan pembelaan yang kuat terhadap apa yang telah dilakukan oleh negara-negara berkembang dalam memerangi perubahan iklim dengan anggaran mereka sendiri. Ia mencontohkan upaya Brasil untuk mengekang deforestasi, yang merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca, dan triliunan investasi Cina dalam teknologi energi bersih.

“Cina menyediakan sumber daya yang jauh lebih banyak bagi negara berkembang dengan mengurangi harga panel surya dan biaya kendaraan listrik secara besar-besaran,” ujarnya. Ia menambahkan, investasi-investasi tersebut jauh lebih berarti bagi negara-negara miskin dibandingkan jika Tiongkok hanya memberikan kontribusi dalam bentuk simbolis.