Efisiensi anggaran, distorsi, dan prioritas kebijakan
Ada yang mencengangkan ketika akun resmi Gerindra di sosial media mencuitkan tentang adanya gap antara arahan Presiden ...
![Efisiensi anggaran, distorsi, dan prioritas kebijakan](https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2025/02/13/miskomunikasi.jpg)
Penting bagi setiap elemen pemerintahan untuk kembali merenungkan makna dari setiap arahan yang diberikan
Jakarta (ANTARA) - Ada yang mencengangkan ketika akun resmi Gerindra di sosial media mencuitkan tentang adanya gap antara arahan Presiden dengan pelaksanaan dalam konteks efisiensi anggaran tahun ini.
Pernyataan itu tentu saja mengundang tanda tanya besar terkait apakah ada hambatan dalam berkomunikasi atau berkoordinasi di jajaran birokrasi.
Ataukah ada kekeliruan dalam menerjemahkan instruksi, atau lebih memprihatinkan lagi adalah apakah ada ketidakpahaman akan dampak dari sebuah kebijakan.
Seperti permainan telepon kaleng atau Chinese Whispers, sebuah permainan di mana seseorang membisikkan pesan ke orang di sebelahnya, lalu pesan itu diteruskan secara berantai hingga orang terakhir. Ketika pesan sampai ke orang terakhir, isinya sering kali sudah berubah jauh dari pesan aslinya akibat salah dengar, kesalahan interpretasi, atau distorsi dalam komunikasi.
Permainan itu sering digunakan sebagai ilustrasi bagaimana isi informasi dapat berubah secara signifikan saat disampaikan secara berjenjang, seperti dalam birokrasi, organisasi, atau penyebaran berita di masyarakat.
Boleh jadi itulah yang sedang terjadi, meski bisa saja ada kecenderungan di kalangan pelaksana untuk menafsirkan arahan sesuai dengan pemahaman mereka sendiri. Hal ini menciptakan interpretasi yang beragam, yang pada akhirnya menjauhkan implementasi dari tujuan awal.
Sebagai bangsa yang kaya akan kearifan lokal, bangsa ini seharusnya mampu menjembatani kesenjangan semacam itu.
Nilai-nilai gotong royong dan musyawarah yang menjadi dasar budaya bangsa dapat dijadikan landasan untuk memperkuat sinergi antara arahan dan pelaksanaan.
Penting bagi setiap elemen pemerintahan untuk kembali merenungkan makna dari setiap arahan yang diberikan.
Bukan sekadar menjalankan perintah, tetapi memahami inti dan tujuan dari kebijakan tersebut.
Dengan demikian, semua dapat memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sejalan dengan visi yang telah ditetapkan.
Namun pernyataan Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi soal efisiensi anggaran sedikit banyak melegakan. Presiden Prabowo Subianto, kata Hasan, menerapkan konsep God is in the details sehingga sangat memperhatikan hingga hal-hal terkecil dalam memutuskan suatu kebijakan.
Termasuk kebijakan yang mendasari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD 2025. Kabarnya, Presiden memeriksa secara detail satuan-satuan belanja dalam APBN, bahkan Presiden memeriksanya sampai satuan sembilan. Hingga kemudian ditemukan lemak-lemak belanja dalam APBN.
Meski pesan Presiden sudah clear , yakni agar efisiensi dilakukan pada pos yang tidak berdampak besar pada layanan masyarakat namun toh Hasan Nasbi mengakui bahwa beberapa institusi ada yang salah menafsirkan Inpres. “Mereka tidak mengorbankan belanja lemak, tapi mereka mengorbankan layanan dasar. Itu salah tafsir,” katanya menegaskan.
Sebenarnya ironis.
Efisiensi vs PHK
Semua memang memahami bahwa saat ini Pemerintah sedang dihadapkan pada dilema besar dalam mengelola efisiensi anggaran di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Sementara Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah untuk tak menambah staf khusus (stafsus) di tengah kebijakan efisiensi anggaran. Di sisi lain, kebijakan efisiensi dikhawatirkan bisa mengakibatkan terjadinya sejumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor yang justru menjadi tulang punggung roda produksi.
Meski Hasan Nasbi telah membantah rumor yang beredar tentang ancaman munculnya gelombang PHK akibat kebijakan efisiensi. Sebab kata dia, bisa saja yang terjadi adalah ada karyawan yang kontrak kerjanya habis lalu tidak diperpanjang.
Namun apapun itu, situasi yang berkembang saat ini menggambarkan kontradiksi yang tajam. Di saat pemerintah menuntut efektivitas, justru kebijakan yang diambil berpotensi melemahkan kapasitas kerja di tingkat operasional.
Pengangkatan staf khusus menjadi contoh konkret. Secara administratif, kehadiran staf khusus sering kali dianggap sebagai kebutuhan fungsional bagi menteri dalam menjalankan tugasnya.
Namun, pada titik tertentu, penambahan staf ini harus dibuktikan tidak menjadi beban anggaran sehingga sebanding kontribusi yang diberikannya terhadap kinerja pemerintahan.
Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762) menekankan pentingnya kehendak umum (volonté générale), kesetaraan, dan keadilan dalam pemerintahan yang baik.
Baginya, pemerintahan yang ideal adalah yang mewakili kehendak rakyat dan memastikan distribusi kekayaan serta kekuasaan yang adil.
Maka sebuah pemerintahan yang baik adalah yang tidak hanya efisien dalam mengelola sumber dayanya, tetapi juga adil dalam distribusinya.
Dalam konteks kebijakan fiskal, keadilan ini harus diterjemahkan ke dalam keputusan yang memastikan keseimbangan antara kebutuhan elite pengambil keputusan dan keberlanjutan sektor yang menjadi motor ekonomi.
Jika efisiensi anggaran diterapkan secara tidak proporsional, dengan memangkas anggaran di sektor yang justru menopang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, maka hasil akhirnya bukan efisiensi, melainkan stagnasi.
Dalam studi kebijakan publik, ada konsep yang dikenal sebagai Kaldor-Hicks Efficiency; kebijakan bisa disebut efisien walaupun ada pihak yang dirugikan asalkan total manfaat yang dihasilkan lebih besar.
Kebijakan pengurangan anggaran yang berujung terhambatnya sektor produktif, sementara penambahan staf di tingkat elit masih berlangsung, jelas tidak memenuhi prinsip ini. Terlebih manfaat yang dihasilkan dengan penambahan staf di tingkat elit belum dapat diukur dengan pasti.
Alih-alih menciptakan efisiensi, kebijakan seperti ini justru bisa menghambat produktivitas dan daya saing nasional.
Sebagai perbandingan, mari melihat bagaimana negara-negara lain menangani efisiensi birokrasi dan distribusi anggaran.
Jerman, misalnya, menerapkan sistem birokrasi yang sangat terukur dengan menitikberatkan pada optimalisasi sumber daya manusia yang ada ketimbang menambah posisi baru.
Alih-alih merekrut lebih banyak staf khusus, Jerman lebih mengandalkan lembaga riset independen yang memberikan masukan berbasis data kepada pemerintah.
Pendekatan ini tidak hanya lebih hemat biaya, tetapi juga lebih objektif dalam menghasilkan kebijakan yang berorientasi pada solusi.
Di Jepang, efisiensi anggaran dijaga melalui prinsip lean government, yang berarti setiap pegawai pemerintah harus memiliki peran yang jelas dan tugas yang terukur.
Alih-alih menambah staf di tingkat atas, Jepang lebih banyak melakukan pelatihan dan redistribusi tugas agar aparatur sipil negara yang ada bisa bekerja lebih efektif.
Ini memastikan bahwa sumber daya yang dimiliki benar-benar digunakan untuk mencapai tujuan yang konkret.
Menentukan Prioritas
Dari pengalaman negara lain, Indonesia bisa menarik beberapa pelajaran penting. Misalnya tentang efisiensi yang tidak bisa sekadar diterapkan pada pemangkasan anggaran, tetapi harus berbasis pada evaluasi kinerja yang objektif.
Jika misalnya tujuan dari penambahan staf khusus adalah untuk meningkatkan efektivitas kebijakan, maka harus ada ukuran yang jelas terkait dampak dan kontribusi mereka terhadap pemerintahan.
Jika ternyata efektivitas bisa dicapai dengan optimalisasi tenaga kerja yang ada, maka penambahan staf menjadi keputusan yang tidak esensial.
Kemudian, perlu ada strategi efisiensi yang berbasis pada restrukturisasi birokrasi. Ketimbang memangkas anggaran secara linear, pemerintah bisa mengadopsi sistem performance-based budgeting, di mana alokasi anggaran didasarkan pada hasil yang dicapai.
Dengan demikian, sektor-sektor yang memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi tidak akan terkena pemotongan yang justru melemahkan daya saing.
Selanjutnya, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih partisipatif dalam merumuskan kebijakan efisiensi anggaran.
Jika pemangkasan anggaran akan berdampak pada sektor-sektor strategis, maka diperlukan dialog antara pemerintah, dunia usaha, dan pekerja untuk menemukan solusi yang lebih berimbang.
Pada akhirnya, efisiensi anggaran harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Jika penghematan hanya dilakukan pada sektor yang paling rentan, sementara struktur birokrasi di tingkat atas terus berkembang tanpa kontrol yang jelas, maka kebijakan tersebut tidak hanya akan menciptakan ketimpangan, tetapi juga berisiko menghambat pertumbuhan jangka panjang.
Ke depan harus ditekankan kembali bahwa kebijakan fiskal bukan sekadar soal angka di atas kertas, tetapi juga menyangkut keberlanjutan sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Sebagaimana dikatakan oleh John Maynard Keynes; “But this long run is a misleading guide to current affairs. In the long run we are all dead." (A Tract on Monetary Reform, 1923). Memang dalam jangka panjang, kita semua akan mati. Tetapi dalam jangka pendek, kebijakan yang salah bisa membunuh lebih cepat.
Oleh karena itu, pemerintah harus bijak dalam menentukan prioritas, memastikan bahwa efisiensi yang dilakukan benar-benar menciptakan nilai tambah, bukan sekadar mengurangi angka di laporan keuangan negara.
Copyright © ANTARA 2025