Industri Keramik Tertekan Kenaikan Harga Gas Akibat Ketidakpastian HGBT
Asosiasi Industri Aneka Keramik mencatat kenaikan harga gas yang signifikan menjadi US$ 12, 6 per MMBTU tahun ini, menekan pabrikan dan berpotensi merusak utilisasi serta investasi industri keramik.
![Industri Keramik Tertekan Kenaikan Harga Gas Akibat Ketidakpastian HGBT](https://cdn1.katadata.co.id/media/images/thumb/2020/02/18/2020_02_18-13_36_16_3460cd3b8f135f5d13120fb5455ce000_960x640_thumb.jpg)
Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) mencatat kenaikan harga gas bagi pabrikan sebesar 93,84% menjadi US$ 12,6 per Million British Thermal Units (MMBTU) sejak awal 2025.
Hal ini disebabkan oleh belum efektifnya perpanjangan kebijakan Harga Bumi Tertentu (HGBT) senilai US$ 6,5 per MMBTU yang berakhir pada akhir 2024.
Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, menyampaikan bahwa mayoritas industri keramik dalam negeri memperoleh pasokan gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS).
Dalam kontrak pembelian gas industri, pabrikan menentukan volume konsumsi gas untuk periode tertentu. Saat ini, PGAS menetapkan harga gas sebesar US$ 9,12 per MMBTU untuk 54% volume konsumsi setiap pabrikan, sementara 46% sisanya dikenakan harga US$ 16,7 per MMBTU.
"Harga gas saat ini sangat mahal jika dibandingkan dengan negara tetangga. Thailand dan Malaysia yang merupakan pengimpor gas saja menetapkan harga sekitar US$ 10 per MMBTU," ujar Edy kepada Katadata.co.id, Senin (10/2).
Edy juga menilai kondisi ini janggal karena mayoritas pasokan gas di Malaysia berasal dari Indonesia. Ketidakpastian kebijakan HGBT juga dinilai berpotensi menekan tingkat utilisasi pabrikan kembali ke level 60% seperti pada 2019.
Sebelum kebijakan HGBT diberlakukan, tingkat utilisasi industri keramik hanya berkisar 55%-60%, namun berhasil meningkat menjadi 70%-78% selama periode 2020-2024.
Pada periode yang sama, investasi di industri keramik mencapai Rp 23 triliun untuk pembangunan pabrik baru dengan kapasitas produksi 90 juta meter persegi, serta menyerap tenaga kerja hingga 15.000 orang. Selain itu, kontribusi pajak dari industri keramik meningkat hampir 50% menjadi Rp 2,65 triliun.
Investasi tahun ini baru sekitar Rp 3 triliun untuk membangun pabrik dengan kapasitas produksi hingga 30 juta meter persegi. Investasi tersebut bertujuan memenuhi permintaan pasar domestik dalam rangka substitusi impor dari Cina dan India.
"Perpanjangan kebijakan HGBT akan dilihat sebagai wujud kepastian hukum di mata investor lokal maupun asing yang telah berinvestasi di dalam negeri," kata Edy.
Investor Cina Lebih Memilih Malaysia
Sebelumnya, Edy mengungkapkan bahwa investor industri keramik asal Cina lebih memilih Malaysia dibandingkan Indonesia sebagai lokasi produksi. Salah satu faktor penyebabnya adalah ketidakpastian kebijakan HGBT.
Dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 91 Tahun 2023, HGBT ditetapkan sebesar US$ 6 per MMBTU hanya sampai akhir 2024. Selain itu, PGAS menerapkan kebijakan Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT), yang membatasi penggunaan gas HGBT oleh pabrikan hanya 65%-70% dari kuota yang ditetapkan. Penggunaan gas di atas kuota ini dikenakan tarif hingga US$ 16,77 per MMBTU.
"Harga gas untuk industri di Malaysia adalah US$ 10,95 per MMBTU. Investor mendapatkan kepastian pasokan dan harga yang lebih kompetitif. Selain itu, investasi baru di Indonesia tidak serta-merta bisa mendapatkan harga gas US$ 6,5 per MMBTU," kata Edy kepada Katadata.co.id, Jumat (3/1).
Dengan kondisi ini, pelaku industri berharap pemerintah segera memperpanjang kebijakan HGBT agar industri keramik tetap berkembang dan investasi di dalam negeri tetap menarik bagi investor.
Reporter: Andi M. Arief