Kaidah Fikih Islam tentang Cashback

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat terutama di perkotaan akrab dengan transaksi dalam jaringan (daring/online). Uang yang dipakai tidak lagi berwujud kertas, tetapi sudah virtual. Istilah yang marak untuk itu adalah uang...

Kaidah Fikih Islam tentang Cashback

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat terutama di perkotaan akrab dengan transaksi dalam jaringan (daring/online). Uang yang dipakai tidak lagi berwujud kertas, tetapi sudah virtual. Istilah yang marak untuk itu adalah uang elektronik atau e-money.

Penyedia layanan e-money juga gencar memberikan potongan harga, dengan tujuan konsumen lebih tertarik menggunakan uang virtual yang dikelolanya. Berbagai promosi tampil dalam rupa-rupa cara, termasuk kembalinya uang (cashback) ke konsumen dalam jumlah tertentu.

Bagaimana Islam memandang cashback dari penggunaan uang virtual? Menurut pakar dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Ustaz Oni Sahroni, promosi berupa itu diperbolehkan dengan syarat-syarat. Dalam hal ini, cashback bisa terjadi dalam transaksi jual beli, sewa, atau bagi hasil.

"Maka cashback diperkenankan dalam Islam dengan syarat bukan modus pinjaman berbunga, dan ada kejelasan harga barang diperjualbelikan," kata Ustaz Oni Sahroni, seperti dikutip dari Pusat Data Republika.

Namun, dalam transaksi utang-piutang, ada hal yang perlu diperhatikan. Jika cashback diterima oleh si kreditor setelah dia melaksanakan syarat-syarat tertentu yang diajukan si pemberi pinjaman, maka cashback itu menjadi riba. Adapun jika tidak ada syarat-syarat yang diajukan pemberi pinjaman, kata Ustaz Oni, maka itu statusnya hadiah.

Sebagai contoh, ketika A menjual ponsel baru kepada B seharga Rp5 juta. Setelah B membayar kepada A sebesar Rp5 juta dan menerima ponsel itu, lantas A memberikan uang Rp 200 ribu kepada B. Cashback sebesar Rp 200 ribu itu merupakan hadiah, sehingga boleh diterima.

Loading...