Lender Empat Pinjol Gugat OJK di PTUN, Ini Respons Asosiasi Fintech

AFPI memberikan tanggapan terkait gugatan para pemberi pinjaman alias lender di pinjaman daring iGrow dan Modal Rakyat, serta yang sudah dicabut izinnya yakni Investree dan TaniFund terhadap OJK.

Lender Empat Pinjol Gugat OJK di PTUN, Ini Respons Asosiasi Fintech

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memberikan tanggapan terkait gugatan para pemberi pinjaman alias lender di pinjaman daring iGrow dan Modal Rakyat, serta yang sudah dicabut izinnya yakni Investree dan TaniFund terhadap Otoritas Jasa Keuangan. (OJK).

Kasus tersebut tercatat dalam laman SIPP Pengadilan Tata Usaha (PTUN), dengan Nomor 18/G/2025/PTUN.JKT sejak 20 Januari 2025. Gugatan berfokus pada permintaan peninjauan kembali atau pencabutan SEOJK 19/2023 terkait penyelenggaraan layanan pendanaan berbasis teknologi informasi (LPBBTI).

Para lender menggugat OJK karena membuat regulasi yang menyebutkan bahwa seluruh risiko pendanaan menjadi tanggung jawab penuh pemberi dana. Gugatan tersebut menilai kebijakan ini tidak adil dan cenderung merugikan lender.

Ketua Umum AFPI, Entjik S. Djafar, mengaku belum mengetahui secara detail gugatan yang tercatat di PTUN. Namun, ia menyoroti SEOJK 19/2023.

Entjik menekankan pentingnya pemahaman dan edukasi bagi lender mengenai mekanisme kerja P2P lending untuk mencegah potensi konflik di masa depan. Ia juga menyampaikan bahwa OJK telah mengeluarkan kebijakan baru terkait kriteria lender profesional dan nonprofesional.

“Kenapa? Karena banyak lender yang tidak mengerti role bisnisnya Pindar ini,” kata Entjik dalam Acara AFPI Media Gathering, di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (22/1). 

Entjik menjelaskan bahwa dalam ekosistem P2P lending berperan sebagai perantara yang menjembatani lender (pemberi pinjaman) dengan borrower (peminjam). Platform ini bertugas mempertemukan kedua pihak secara efektif, sehingga transaksi pinjam-meminjam dapat berlangsung dengan lancar dan sesuai kebutuhan masing-masing. Menurutnya, tanggung jawab utama dalam menilai risiko berada di tangan lender.

“Kalau dari awal lender melihat ada keraguan terhadap borrower, ya jangan diteruskan. Tanda tangan perjanjian kredit itu bukan di platform, melainkan antara lender dan borrower,” ujar Entjik.

Ia menambahkan bahwa platform hanya menyediakan informasi terkait borrower untuk membantu lender mengambil keputusan. Oleh karena itu, penting bagi lender untuk memahami karakter dan prospek usaha borrower sebelum memberikan pinjaman.

Terkait kasus fraud atau gagal bayar dari borrower, Entjik menyampaikan bahwa platform memiliki peran untuk membantu proses penagihan. Jika borrower tetap gagal bayar setelah 90 hari, lender akan diberikan opsi untuk melanjutkan proses penagihan atau menyerahkannya kepada pihak ketiga.

“Apakah masih mau diterusin ini? Kalau lender bilang oke diterusin, kita terusin. Atau kita memberikan kepada pihak ketiga untuk menagih,” tuturnya. 

Namun, pihak ketiga yang terlibat dalam penagihan wajib menjadi anggota AFPI. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa proses penagihan dilakukan sesuai standar dan etika yang telah ditetapkan.

“Kami melarang platform bekerja sama dengan pihak ketiga yang bukan anggota AFPI. Semua pihak ketiga ini harus memiliki sertifikasi, training, dan diawasi oleh asosiasi,” tambah Entjik.

Sebelumnya, Para pemberi pinjaman alias lender di pinjaman daring iGrow dan Modal Rakyat, serta yang sudah dicabut izinnya yakni Investree dan TaniFund ramai-ramai menggugat OJK atau Otoritas Jasa Keuangan. Pengacara Grace Sihotang mengatakan gugatan itu terkait kebijakan OJK yang dinilai merugikan para lender. 

Aturan yang dimaksud yakni SEOJK 19/2023 pada Bab IV Mekanisme Penyaluran dan Pelunasan Pendanaan Angka 1 huruf h menyatakan: seluruh risiko Pendanaan yang timbul dalam transaksi layanan pendanaan berbasis teknologi informasi atau LPBBTI ditanggung sepenuhnya oleh Pemberi Dana. 

 “Ketika terjadi gagal bayar, lender selalu diminta menanggung seluruh risiko. Bahkan ketika ada indikasi kecurangan di platform, aturan ini tetap tidak memberikan perlindungan memadai bagi kami. Kebijakan ini tidak adil,” ujar Grace kepada Katadata.co.id, Senin (20/1). 

Investree misalnya, izinnya dicabut OJK pada 21 Oktober 2024 setelah ada dugaan fraud atau kecurangan oleh eks CEO Adrian Gunadi. OJK dan Kepolisian masih memburu Adrian Gunadi yang diduga berada di Qatar.

Pencabutan izin usaha Investree terutama karena melanggar ekuitas minimum dan ketentuan lainnya, sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 10 tahun 2022. Selain itu, kinerja pinjaman daring atau pindar ini memburuk, sehingga mengganggu operasional dan pelayanan kepada masyarakat. 

Selain itu, TaniFund dicabut izinnya pada 3 Mei 2024. Setelah itu, TaniFund wajib menggelar Rapat Umum Pemegang Saham alias RUPS untuk memutuskan pembubaran dan membentuk tim likuidasi. Pembentukan tim likuidasi paling lama 30 hari kalender sejak tanggal dicabutnya izin usaha. 

Lalu, iGrow mengalami gagal bayar sejak Juni 2023. Ada 40 lender menuntut startup milik LinkAja ini. Para lender mengalami kerugian materiel Rp 3,18 miliar dan imateriel Rp 500 miliar. Modal Rakyat juga menghadapi gugatan dengan nilai sengketa Rp 300 juta. Platform pinjaman online ini sudah memenangkan gugatan dan tidak dinyatakan bersalah. 

Oleh karena itu, para lender Investree, TaniFund, iGrow, dan Modal Rakyat kompak menggugat OJK. Poin gugatan yakni: 

1. Kerugian finansial. Risiko kehilangan dana sepenuhnya ditanggung oleh lender jika terjadi gagal bayar, sementara penyelenggara platform hanya bertanggung jawab jika terbukti melakukan kelalaian atau kesalahan 

2. Indikasi fraud. Beberapa kasus di platform fintech lending melibatkan dugaan kecurangan oleh internal penyelenggara, yang semakin memperburuk kerugian bagi lender 

3. Ketidakpastian hukum. Aturan OJK dinilai menciptakan ketidakpastian hukum bagi lender, yang merasa tidak mendapatkan perlindungan yang memadai meskipun berpartisipasi dalam ekosistem keuangan berbasis teknologi yang diawasi oleh OJK