Menteri Nusron: Penggusuran Rumah di Bekasi oleh PN Cikarang Cacat Prosedur
Eksekusi lahan di Desa Setia Mekar Bekasi oleh pengadilan dikritik oleh Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, karena tidak mengikuti prosedur hukum yang benar, dengan dampak pada lima rumah warga.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan bahwa lahan di Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi tidak sesuai prosedur hukum.
Eksekusi rumah itu dilakukan petugas berdasarkan perintah Pengadilan Negeri (PN) Cikarang. "Ini adalah proses eksekusi yang prosedurnya kurang tepat. Saya menganggap penghuni masih sah secara hukum," ujar Nusron saat meninjau lokasi eksekusi pada Jumat (7/2).
Eksekusi tersebut berdampak pada lima rumah warga yang tergusur meskipun berada di luar objek sengketa. Kelima rumah itu milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR), yang semuanya memiliki dokumen Sertifikat Hak Milik (SHM).
Prosedur yang Tidak Dijalankan Pengadilan
Nusron menjelaskan bahwa pengadilan tidak menjalankan sejumlah prosedur sebelum melakukan eksekusi. Salah satu yang paling krusial adalah tidak adanya pengajuan pembatalan sertifikat warga kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi.
"Di dalam amar putusan, tidak ada perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tanah. Seharusnya ada perintah terlebih dahulu sebelum sita eksekusi dilakukan," kata Nusron.
Selain itu, juga berkewajiban mengajukan surat permohonan kepada BPN setempat untuk meminta bantuan pengukuran lahan yang akan dieksekusi.
Pengadilan juga wajib melayangkan surat pemberitahuan kepada BPN terkait pelaksanaan eksekusi. "Tiga prosedur ini tidak dilalui dengan baik oleh pengadilan," ujarnya.
Latar Belakang Sengketa Tanah
Eksekusi terhadap lima rumah warga dilakukan pada 30 Januari 2025, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
Gugatan ini diajukan oleh Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, yang mengklaim sebagai pemilik sah tanah berdasarkan sertifikat induk bernomor 335 yang dibeli dari Djuju Saribanon Dolly pada 1976.
Namun, persoalan semakin kompleks karena tanah seluas 3,6 hektare tersebut telah beberapa kali berganti kepemilikan. Setelah Djuju menjual lahan kepada Abdul Hamid, ternyata transaksi tersebut bermasalah.
Djuju membatalkan sepihak jual beli karena Abdul Hamid gagal melunasi pembayaran. Meski begitu, Abdul Hamid tetap menjual lahan kepada Kayat, yang kemudian memecah sertifikat menjadi empat bidang dengan nomor SHM 704, 705, 706, dan 707.
Kayat kemudian menjual SHM 704 dan 705 kepada Toenggoel Paraon Siagian, sementara SHM 706 dan 707 dijual ke pihak lain. Pada 2019, Toenggoel menjual SHM 705 ke Bari, yang kemudian membangun perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2. Selain cluster, tiga bidang tanah lain dengan SHM 704, 706, dan 707 juga menjadi objek eksekusi.
Mimi Jamilah kemudian menggugat seluruh pemilik lahan dengan berbekal Akta Jual Beli (AJB) antara Djuju dan Abdul Hamid. Padahal, berdasarkan riwayat kepemilikan, tanah tersebut telah berpindah tangan beberapa kali.
Dengan berbagai kejanggalan ini, Menteri ATR/BPN menegaskan bahwa eksekusi lahan seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek legalitas dan prosedur hukum yang benar.