Pemerintah Didesak Genjot Pungutan Biaya Batu Bara untk Pensiun Dini PLTU
Pemerintah didesak meningkatkan pungutan ekspor batubara untuk pembiayaan transisi energi dan melakukan pensiun dini PLTU batubara.
Pemerintah didesak meningkatkan pungutan ekspor batubara untuk pembiayaan transisi energi dan melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustaya, mengatakan pemerintah dapat secara bertahap meningkatkan pungutan produksi batu bara secara progresif.
"Dengan langkah ini, Indonesia dapat mengumpulkan pundi-pundi yang dibutuhkan untuk transisi energi, tak hanya penutupan PLTU," ujar Tata dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (7/2).
Selain itu, Tata mengatakan, Indonesia juga dapat memperoleh pembiayaan hingga 170% dari kebutuhan transisi energi dalam dokumen Just Energy Transition Partnership (JETP) US$ 96,1 miliar dengan pungutan progresif. Dalam skenario terburuk, Indonesia bisa mendapatkan dana 35% dari kebutuhan JETP, yang cukup untuk membiayai pembangunan jaringan listrik dan pensiun dini PLTU.
“Ini menunjukkan, kalau pemerintah punya kemauan politik untuk meningkatkan pungutan batu bara, Indonesia sebenarnya bisa membiayai transisi energi,” ujarnya.
Selain dari sisi pendanaan, Indonesia juga telah memiliki sejumlah regulasi yang mampu mendorong tercapainya pensiun dini PLTU.
Peneliti Hukum Centre of Economic and Law Studies (Celios), Muhamad Saleh, mengatakan sejumlah regulasi telah menjamin pelaksanaan pensiun dini sekaligus memitigasi risiko keuangan yang mungkin muncul. Eksekusi pensiun dini PLTU hanya tinggal menunggu kemauan politik dari pemerintah untuk melaksanakannya.
“Terdapat empat kebijakan yang dapat dijadikan modal kuat transisi energi dan penutupan PLTU,” ujar Saleh.
Saleh mengatakan, kebijakan pertama adalah Peraturan Presiden No 112/2022 secara jelas telah mengatur jenis dan kriteria PLTU yang musti dimatikan, bahkan juga mendorong pemerintah mewujudkan berbagai skema pembiayaan yang dibutuhkan untuk proses penutupan.
Kemudian, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 5/20225 yang mengatur adanya platform transisi energi sebagai alat fiskal yang mendukung percepatan penutupan PLTU dan pengakhiran Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL).
“Artinya, ada penjaminan dari Kementerian Keuangan ketika ada risiko kegagalan bisnis PLN dan alokasi anggaran dari penutupan PLTU,” ujarnya.
Dia mengatakan, dua kebijakan lainnya adalah Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Meski tak secara eksplisit menyebut PLTU mana yang harus ditutup, RUKN mempertegas amanat Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk mengakhiri operasi PLTU dan mendorong pengembangan energi terbarukan. Begitupun dengan RUPTL yang secara tegas mendorong diversifikasi jenis pembangkit listrik.
Ia menyakini, keempat regulasi ini cukup untuk memberi dasar bagi pemerintah melakukan transisi energi. Hanya ada satu amanat Perpres 112/2022 yang belum dijalankan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu peta jalan pensiun dini PLTU yang mendetailkan kriteria serta skema pembiayaannya.
“Ini sangat krusial, makanya kita seharusnya mendorong Kementerian ESDM untuk segera mengeluarkan peta jalan. Saat ini, hanya itu (peta jalan) hambatannya,” ujarnya.
Peneliti Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Martha Maulidia, mengatakan banyaknya fasilitas yang diberikan kepada sektor energi fosil, termasuk batu bara menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan transformasi untuk merealisasikan transisi energi, utamanya agar pertumbuhan energi terbarukan dapat naik signifikan. Selain itu, anggaran subsidi dan kompensasi listrik sudah sangat besar yaitu mencapai lebih dari Rp 500 triliun pada 2022.
Jika Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil, Martha mengatakan, besaran subsidi dan kompensasi energi akan dapat dipangkas dan direalokasikan ke sektor lain yang lebih penting.
“Kalau Indonesia menjalankan business as usual, masih banyak kepentingan di RUKN dan RUPTL, artinya bauran energi terbarukan tidak akan naik signifikan," ujarnya.