Meski bantuan terancam dipangkas, Raja Yordania tolak rencana Trump

Raja Yordania, Abdullah II, akan menolak rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi ...

Meski bantuan terancam dipangkas, Raja Yordania tolak rencana Trump

Amman, Yordania (ANTARA) - Raja Yordania, Abdullah II, akan menolak rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi warga Palestina, bahkan jika Washington memangkas bantuan kepada kerajaan tersebut, demikian dilaporkan media lokal.

Abdullah dijadwalkan bertemu dengan Trump di Gedung Putih pada Selasa (11/2), dalam pertemuan pertama antara seorang pemimpin Arab dan Presiden AS sejak Trump mulai menjabat bulan lalu.

Pertemuan itu berlangsung tak lama setelah Trump menyatakan pada Senin (10/2) bahwa ia mungkin akan memangkas bantuan bagi Yordania dan Mesir jika kedua negara tidak menerima warga Palestina dari Gaza.

AS merupakan pendukung utama Yordania, dengan kesepakatan Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman yang telah ditandatangani pada September 2022.

Berdasarkan kesepakatan ini, Washington menyediakan bantuan keuangan tahunan sebesar 1,45 miliar dolar AS (sekitar Rp23,58 triliun) kepada Yordania untuk periode 2023 hingga 2029.

Namun pada bulan lalu, pemerintahan Trump memutuskan untuk membekukan semua bantuan luar negeri selama 90 hari guna melakukan tinjauan ulang.

Garis Merah

Dalam artikel berjudul "Raja dan Trump: Pertemuan Bersejarah," Pemimpin Redaksi Al-Dustour, Mustafa Ryalat, menggambarkan kunjungan Raja Abdullah ke Washington sebagai "bersejarah dalam segala maknanya."

Ia menekankan bahwa pertemuan ini terjadi pada "momen politik yang sangat sensitif ketika krisis di kawasan semakin memuncak, tetapi sang raja membawa serta garis merah Yordania yang sudah dikenal."

Ryalat mengingat bahwa ketika muncul rumor bahwa "kesepakatan abad ini" dari Trump mencakup rencana pemindahan warga Palestina ke Yordania sebagai tanah air alternatif, Raja Abdullah dengan tegas menyatakan, "Sebagai orang Hashemite, bagaimana mungkin saya mundur dari Yerusalem? Mustahil. Ini adalah garis merah. Tidak untuk Yerusalem; tidak untuk tanah air alternatif; tidak untuk pemindahan warga Palestina ke Yordania".

Rencana Trump yang dikenal sebagai "kesepakatan abad ini", yang diungkapkan pada 2020 sebagai solusi konflik Israel-Palestina, ditolak secara luas oleh Palestina dan dunia Arab karena dianggap lebih menguntungkan Israel dengan mengorbankan hak-hak Palestina.

Ryalat mengakui bahwa situasi saat ini sangat sulit, dengan menyatakan, "Ya, tantangannya besar, dan ya, kita sedang menghadapi isu paling berbahaya saat ini - pengusiran paksa. Tetapi kami, sebagai warga Yordania yang dipimpin oleh raja kami, tidak memiliki kemewahan untuk membuat kesepakatan yang mengorbankan prinsip-prinsip kami. Sikap kami tegas: Tidak untuk pemindahan."

Tiga Skenario

Dalam artikel berjudul "Pertemuan Raja-Trump: Tiga Skenario untuk Masa Depan Kawasan," Pemimpin Redaksi Al-Rai, Khaled Al-Shuqran, menyebut pertemuan tersebut sebagai "titik balik krusial yang bisa membentuk kembali posisi Washington atau justru memperdalam krisis, dengan tiga kemungkinan skenario yang menjadi perhatian para analis."

Ia mengatakan bahwa Raja Abdullah, sebagai sekutu strategis AS, bisa berhasil meyakinkan Trump untuk meninggalkan rencana pemindahan penduduk dan kembali mendukung solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian.

Skenario kedua, menurut Shuqran, adalah AS tetap bersikeras melaksanakan rencana pemindahan, baik dengan memindahkan warga Gaza ke negara lain atau mengusir mereka secara internal di dalam wilayah Gaza.

Skenario ketiga, kata Shuqran, adalah pertemuan berakhir tanpa hasil yang jelas, dengan situasi tetap stagnan – Israel tetap menduduki wilayah Palestina, mempertahankan blokade di Gaza, dan membekukan perundingan damai.

Shuqran memperingatkan bahwa skenario ketiga adalah yang paling berbahaya, "karena dapat memperburuk keputusasaan Palestina dan memicu Intifada ketiga, yang mungkin lebih ganas dari sebelumnya, terutama dengan meningkatnya ekstremisme di kedua belah pihak".

"Kebuntuan ini akan menguras sumber daya negara-negara tetangga seperti Yordania, Mesir, dan Lebanon, yang sudah menghadapi krisis pengungsi, sehingga memperburuk ketidakstabilan sosial dan politik di kawasan," tambahnya.

"Keputusan AS tidak hanya akan menentukan nasib Palestina, tetapi juga masa depan aliansi regional serta strategi 'perdamaian ekonomi' yang dipromosikan oleh pemerintahan Trump."

Pemerasan Politik

Dalam artikel berjudul "Pemotongan Bantuan AS untuk Yordania: Kami Tidak Akan Tunduk, Kami Tidak Akan Berkompromi," jurnalis Awni Rjoub mengecam ancaman Trump untuk menghentikan bantuan keuangan bagi Yordania, menyebutnya sebagai "babak baru dari pemerasan politik murahan yang bertujuan menundukkan Yordania dan memaksanya menerima kesepakatan abad ini yang telah ditolak."

"Trump berpikir bahwa Yordania, negara kecil dalam ukuran tetapi besar dalam tekad, dapat dipaksa tunduk dengan ancaman keuangan. Ia sangat keliru," katanya.

"Yordania, dengan kepemimpinannya dan rakyatnya, tidak akan menyerah. Kami tidak akan dipaksa, bahkan jika seluruh dunia menentang kami," tambahnya.

Dalam surat kabar Al-Ghad, jurnalis Nidal Mansour menyoroti signifikansi diplomatik dari kunjungan Raja Abdullah ke AS.

"Ini adalah kunjungan yang sangat kompleks dan sensitif secara politik, yang akan menunjukkan posisi strategis Yordania setelah beberapa dekade menjalin hubungan erat dengan Washington. Hasilnya akan menentukan fase berikutnya, baik secara politik maupun ekonomi," paparnya.

Dalam artikel berjudul "Sebelum Raja Bertemu Trump," Mansour mencatat bahwa situasi ini mungkin "memerlukan pergeseran aliansi dan strategi untuk menghadapi tantangan mendatang".

"Yang pasti adalah bahwa hubungan Yordania-AS memasuki wilayah yang belum dipetakan di bawah kepemimpinan Trump, dan dunia sedang mengamatinya dengan cermat," tuturnya.

Di bawah tajuk "Yordania, Trump, dan Konfrontasi Berani," jurnalis Mundher Al-Houarat berpendapat bahwa "Trump telah melampaui batas. Ia tidak peduli dengan hukum internasional, sehingga upaya hukum mungkin tidak membuahkan hasil."

Sebagai gantinya, Houarat menyarankan agar Yordania "memperdalam aliansi dengan China, Rusia, dan Uni Eropa, mengadakan pertemuan darurat Liga Arab, serta berupaya menjalin komunikasi baik dengan institusi AS maupun PBB."

Namun, ia mengakui bahwa mengingat sifat Trump yang tidak dapat diprediksi, upaya-upaya tersebut mungkin tidak membuahkan hasil yang diharapkan.

Sebagai langkah lebih tegas, ia mengusulkan agar Trump memahami konsekuensi dari tindakannya, Yordania harus mempertimbangkan langkah-langkah berani, seperti mengisyaratkan pembekuan Perjanjian Perdamaian Wadi Arabia (1994) dengan Israel, menghentikan kerja sama keamanan dan militer dengan AS, serta menolak segala bentuk bantuan yang disertai dengan syarat tertentu.

Sumber: Anadolu

Baca juga:

Baca juga:

Baca juga:

Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025