Kisah Ida Mujtahidah, Difabel yang Lulus S2 Cumlaude di UGM

Kisah Ida berjuang menyelesaikan studinya di UGM hingga meraih ipk 3,9.

Kisah Ida Mujtahidah, Difabel yang Lulus S2 Cumlaude di UGM

TEMPO.CO, Jakarta - Menggunakan kursi roda listrik, Ida Mujtahidah tak kuasa menahan senyum saat Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada () Wawan Masudi menyerahkan ijazah. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya tepat waktu di Program Studi S2 Ilmu Hubungan dengan predikat cumlaude.

Ida, begitu ia akrab disapa, mengungkapkan bahwa meraih gelar S2 adalah salah satu pencapaian terbesar dalam hidup. Ia menjadi salah satu dari 841 lulusan program magister, spesialis, subspesialis, dan doktor yang diwisuda pada program pascasarjana di Grha Sabha Pramana UGM pada akhir Januari lalu. Ida berhasil lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,9.

Pencapaian ini, kata Ida, tidak didapat dengan berjuang seorang diri. Ada keluarga yang turut berperan memberikan dukungan. Ida mengatakan dukungan tersebut berupa moral, emosional, dan logistik yang dibutuhkan termasuk fasilitas kursi roda listrik.

Selama menjalani masa kuliah, Ida sempat mengalami mental breakdown. Beruntung, dukungan dari sesama Awardee LPDP membantunya melewati masa sulit itu. Temannya memastikan Ida merasa aman, memberi dorongan agar tetap percaya diri, serta menemani setiap kali ia selesai menjalani konsultasi rutin dengan psikolog.

“Tentu saja masih ada ruang perbaikan untuk meningkatkan awareness serta membangun budaya yang lebih inklusif di UGM,” kata dia saat dikutip lewat keterangan resmi pada Senin, 10 Februari 2025.

Ida mengungkapkan bahwa tantangan terbesar selama perkuliahan adalah menjaga stamina fisik. Namun, dengan jadwal yang terstruktur, dukungan keluarga, dan semangat untuk segera menyelesaikan studi, ia mengaku berhasil melewati berbagai rintangan dan tetap fokus pada tujuannya.

Selain itu, FISIPOL UGM juga menyediakan berbagai fasilitas aksesibilitas, seperti lift yang beroperasi di semua lantai, ruang khusus bagi pengunjung disabilitas di perpustakaan dan arsip, serta jalur landai tambahan di FISIPoint. Sistem pembelajaran hybrid, yang menggabungkan metode daring dan luring, serta kemudahan pengumpulan tugas secara online, kata dia, cukup membantunya dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

"Namun, peningkatan masih dibutuhkan, misalnya dalam hal penyediaan transportasi kampus yang lebih inklusif dan aksesibilitas untuk gedung tua," ujar dia. 

Ida memulai studi sejak 2023. Selama kuliah, ia aktif melakukan advokasi bagi penyandang disabilitas. Selain itu, ia juga aktif mengikuti berbagai konferensi. 

Ida sempat terpilih sebagai best paper presenter pada 6th International Conference on Interreligious Studies (ICONIST) yang diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dirinya juga terpilih menjadi partisipan dalam Sekolah Riset Advokasi Disabilitas 2024 yang merupakan kolaborasi antara SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak) dan KONEKSI (Knowledge Partnership Platform Australia – Indonesia). 

Ida tentu pantas berbangga, karena dari ratusan periset disabilitas di seluruh Indonesia, hanya 21 orang yang terpilih dalam program tersebut. Selain itu, ia juga mendapat undangan sebagai peserta dalam konferensi internasional "Pengetahuan dari Perempuan" yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan (Komnas) Perempuan di Universitas Brawijaya pada pertengahan September 2024 lalu.

Atas kelulusannya ini, Ida berharap bisa berkontribusi lebih luas dalam advokasi penyandang disabilitas, khususnya dalam membangun kebijakan inklusif. Tak merasa puas, Ida masih berencana untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya.  Menurut dia, pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas.

“Kampus tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga membangun kepercayaan diri dan jaringan profesional yang diperlukan untuk bersaing,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bahwa masyarakat perlu mendukung para penyandang disabilitas dengan meningkatkan pemahaman terhadap kebutuhan mereka, menghapus stigma, serta memberikan kesempatan yang setara di berbagai bidang, termasuk pendidikan dan pekerjaan.