Saham Bank-bank Besar Rontok, Kebijakan Tarif Trump Bikin Waswas Likuiditas

Saham bank-bank besar rontok di tengah gonjang-janjing kebijakan tarif Trump yang dikhwatirkan menyebabkan likuiditas di dalam negeri semakin ketat.

Saham Bank-bank Besar Rontok, Kebijakan Tarif Trump Bikin Waswas Likuiditas

Saham bank-bank besar rontok dalam sepekan terakhir di tengah gejolak kebijakan tarif dagang Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kebijakan yang dapat memicu perang dagang ini dikhwatirkan menyebabkan likuiditas di dalam negeri semakin ketat. 

Pada perdagangan kemarin (11/2), saham bank-bank BUMN, kecuali PT Bank Rakyat Indonesia Tbk atau BBRI, semakin rontok. Saham PT Bank Mandiri Tbk turun 2,4%, PT Bank Tabungan Negara Tbk turun 2,6%, PT Bank Negara Indonesia Tbk turun 1,93%, sedangkan BRI naik 1%. Dalam lima hari terakhir, saham keempatnya turun signifikan. 

Penurunan harga secara signifikan juga terjadi pada saham bank-bank besar lainnya dalam lima hari terakhir, meski sebagian mulai pulih pada perdagangan kemarin. Berikut daftar penurunan harga saham bank-bank besar dalam lima hari terakhir 

Emiten Perubahan Harga Harga Terakhir
BMRI -12,86% 4.880
BBRI -5,65% 4.010
BBNI -12,47% 4.070
BBTN -8,46% 920
BBCA -0,82% 9.075
BNGA -4% 1.680
BNLI -2,23% 1.315
BDMN -1,96% 2.500
NSIP -3,68% 1.310

Sumber: BEI

Ekonom BCA David Sumual menilai, penurunan indeks saham, termasuk pada saham-saham bank lebih banyak dipicu oleh sentimen eksternal dari ketidakpastiak kebijakan tarif Trump. 

"Pengetatan likuiditas global trennya sudah terjadi dalam dua tahun terakhir. Dengan adanya ketidakpastian tersebut, likuiditas bisa terpengaruh,"ujar David kepada Katadata.co.id. 

Kebijakan tarif trump mendorong penguatan terhadap dolar AS. Mengutip Bloomberg, indeks dolar AS terus menguat hingga kini berada di level 108. "Mata uang regional juga dalam tekanan karena kekhawatiran retaliasi dari China dan dampaknya ke pelemahan yuan," kata dia. 

Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede juga melihat pengetatan likuiditas di dalam negeri sebagai dampak kebijakan tarif impor Trump. "Kondisi global yang ditandai dengan penguatan USD, ketidakpastian geopolitik global, dan harga komoditas yang melemah telah mempersempit ruang likuiditas perbankan," kata dia.

Josua menjelaskan, The Fed juga diperkirakan mengakhiri kebijakan pengetatan kuantitatif pada 2025. Kondisi ini akan mendorong tingkat imbal hasil surat berharga pemerintah AS tenor 10 tahun masih tetap tinggi. "Yang pada gilirannya menekan imbal hasil obligasi Indonesia dan membatasi penurunan suku bunga kredit," kata dia.

Menurut dia, penerapan tarif impor baru oleh Trump dapat memperburuk kondisi likuiditas melalui beberapa mekanisme. Pertama, peningkatan tarif akan mengurangi permintaan ekspor Indonesia ke AS, terutama untuk produk manufaktur bernilai tambah tinggi seperti mesin, elektronik, dan kendaraan, yang merupakan pilar utama industrialisasi Indonesia.

Jika ekspor menurun, surplus neraca dagang akan melemah, yang berarti lebih sedikit aliran dolar masuk ke dalam negeri. Dalam kondisi ini, Bank Indonesia mungkin harus lebih sering melakukan langkah-langkah stabilisasi untuk menstabilkan rupiah, yang dapat menguras cadangan devisa dan memperketat likuiditas lebih lanjut.

Kedua, ketidakpastian perdagangan global yang meningkat akibat kebijakan proteksionis AS dapat menyebabkan aliran modal asing keluar dari pasar keuangan domestik Indonesia terutama pasar SBN. Ini dapat meningkatkan imbal hasil SBN, memperburuk kondisi kredit domestik, dan menghambat ekspansi kredit perbankan yang saat ini sudah menghadapi keterbatasan likuiditas.

Ketiga, jika pelemahan ekspor berdampak negatif pada sektor manufaktur dan industri terkait, permintaan terhadap kredit investasi dan modal kerja bisa ikut terpengaruh. Dalam situasi di mana bank sudah memperketat penyaluran kredit akibat keterbatasan likuiditas, potensi stagnasi atau bahkan penurunan pertumbuhan kredit menjadi lebih besar.

Ia menekankan, kebijakan tarif Trump  secara keseluruhan, dapat menambah tekanan pada kondisi likuiditas domestik Indonesia, yang saat ini sudah ketat akibat faktor global dan domestik. Karena itu, menurut dia, pemerintah dan Bank Indonesia perlu memastikan efektivitas kebijakan fiskal dan moneter dalam mempertahankan stabilitas likuiditas, termasuk melalui strategi diversifikasi ekspor dan optimalisasi insentif investasi domestik.

Potret Likuiditas Bank-bank Besar

Pengetatan likuiditas di perbankan dapat terlihat dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga perbankan atau LDR. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia atau SPI hingga November 2024, LDR industri perbankan masih mencapai 87,54% atau dalam kategori baik, meski naik dibandingkan posisi akhir 2023 sebesar 84%. Menurut OJK, LDR yang ideal bagi bank adalah 78–92%.

Kenaikan LDR terjadi di sejumlah bank besar. Bank Mandiri, misalnya, mencatatkan kenaikan LDR dari 87,6% pada 2023 mencapai 98% pada akhir 2024. LDR BBNI naik dari 85,8% menjadi 96,1%, sedangkan LDR BBRI naik dari 84,2% menjadi 89,39%. 

BBCA, yang memiliki likuiditas paling longgar, juga mencatatkan kenaikan LDR dari 70,2% menjadi 78,4%. Di sisi lain, ada beberapa bank yang mencatatkan penurunan LDR. 

LDR Bank OCBC NISP tuun dari 83,8% pada 2023 menjadi 81,9% pada 2024, begitu juga dengan BBTN dari 95,36% menjadi 93,8%.