Pakar Pendidikan UM: Gonta-Ganti Kebijakan, Pendidikan Bisa Jadi Korban
Pakar Pendidikan UM: Gonta-Ganti Kebijakan, Pendidikan Bisa Jadi Korban. ????Presiden Prabowo memutuskan untuk memecah Kemendikbud Ristek menjadi tiga kementerian. Keputusan ini menuai kritik akademisi yang khawatir akan dampaknya pada pendidikan. -- Ikuti kami di ????https://bit.ly/392voLE #beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp
![Pakar Pendidikan UM: Gonta-Ganti Kebijakan, Pendidikan Bisa Jadi Korban](https://beritajatim.com/wp-content/uploads/2025/02/IMG-20250211-WA0001_w2YrwMHY47.jpeg)
Malang (beritajatim.com) – Kebijakan pendidikan kembali berubah. Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk memecah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menjadi tiga kementerian baru.
Langkah ini memicu kekhawatiran di kalangan akademisi, yang menilai perubahan ini justru akan memperlambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Dalam struktur baru ini, Kemendikbud Ristek dibagi menjadi tiga.
Tiga kementerian itu, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; dan Kementerian Kebudayaan. Keputusan ini diklaim untuk meningkatkan efektivitas tata kelola pendidikan.
Namun, bagi para pakar, perubahan ini justru mengulang pola lama: ganti pemerintahan, ganti kebijakan, dan pendidikan kembali jadi korban. Prof. Dr. AH. Rofiuddin, M.Pd, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Malang, memberikan kritik terhadap kebijakan ini.
“Ganti menteri, ganti kebijakan. Ganti presiden, ganti kementerian. Padahal, membangun sistem pendidikan yang stabil butuh waktu bertahun-tahun. Kalau sekarang dipisah lagi, praktis lima tahun ke depan hanya habis untuk konsolidasi” ujar Prof Rofi.
Menurut Prof Rofi, perubahan ini justru akan membuat sistem pendidikan tidak efektif. Oleh karena itu, harus membangun struktur baru dari nol.
“Kita sulit membayangkan bagaimana nantinya. Untuk memisahkan SDM dan membuat pola baru saja butuh waktu. Bisa-bisa dalam satu periode pemerintahan, yang terjadi hanya penyesuaian tanpa ada kemajuan signifikan,” tambahnya.
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah dampak terhadap riset dan pendidikan tinggi. “Jangankan membiayai riset, anggarannya malah dipotong. Riset itu tidak seperti membangun jembatan yang hasilnya langsung kelihatan. Kalau kebijakan berubah terus seperti ini, apa yang bisa diharapkan?” tegas Prof. Rofiuddin.
Ia juga menyoroti bahwa perubahan ini berpotensi mempersulit eksekusi kebijakan pendidikan. Menurutnya, setiap kementerian baru harus menyusun ulang sistem kerja dan koordinasi.
Selain itu, Prof. Rofiuddin juga menyoroti bagaimana kebijakan ini akan berdampak pada tenaga pendidik, terutama ASN dan P3K, yang masih menghadapi berbagai tantangan.
“Kondisi ini semakin sulit. Kita sebagai pendidik tentu akan terus menjalankan tugas, tapi kalau sistem berubah terus, bagaimana pendidikan bisa maju?” katanya.
Keputusan pemecahan Kemendikbud Ristek ini masih menjadi kontroversi besar. Apakah benar demi efektivitas, atau justru hanya mengulang siklus gonta-ganti kebijakan yang merugikan dunia pendidikan. [dan/beq]