Peta jalan menuju kemandirian energi

Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa Indonesia harus segera mencapai kemandirian energi. Dalam lima tahun ...

Peta jalan menuju kemandirian energi

Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa Indonesia harus segera mencapai kemandirian energi. Dalam lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan perluasan jaringan elektrifikasi di seluruh Indonesia, termasuk untuk 1,3 juta rumah tangga yang belum mendapatkan akses listrik.

Presiden Prabowo berpandangan, energi sangat penting untuk menghilangkan kemiskinan dari bumi Indonesia, serta mentransformasikan bangsa ini menjadi negara modern dan negara maju.

Untuk itu Presiden Prabowo memasang target ambisius agar Indonesia segera mencapai kemandirian energi melalui peta jalan yang terukur.

Komitmen Presiden Prabowo menuju kemandirian energi, disampaikan saat peresmian Proyek Strategis Kelistrikan pada 18 provinsi, yang diselenggarakan di Sumedang, Jawa Barat, baru-baru ini.

Proyek itu terdiri dari 26 proyek pembangkit listrik senilai Rp 72 triliun, 11 proyek gardu induk berkapasitas 1.740 megavolt ampere (MVA), dan transmisi listrik sepanjang 739 kilometer sirkuit (kms).

Dalam kesempatan yang sama, presiden kembali menegaskan komitmen pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) atau energi hijau.

Optimisme presiden itu berdasarkan kenyataan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang cukup besar serta kemampuan untuk melakukan transformasi energi.

Komitmen Presiden Prabowo berbasis data di lapangan bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam untuk pembangkit listrik, yaitu tenaga Matahari, air, dan angin.

Meskipun demikian, yang menjadi masalah adalah jaringan yang tersedia selama ini belum didisain untuk menjemput tempat-tempat di mana ada pembangkit listrik EBT.

Sebagaimana dikatakan Menteri ESDM Bahlil Lahaladia, Kementerian ESDM berencana mempercepat pembangunan jaringan, kurang lebih sepanjang 8.000 kilometer.

Pasokan listrik yang andal dan berkelanjutan adalah bagian dari upaya mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Sesuai arahan Presiden Prabowo, dengan ketersediaan listrik yang andal, bersih, dan terjangkau, akan berdampak positif bagi pertumbuhan industri, dan pada gilirannya investasi akan mengalir ke Indonesia.

Untuk itu bangsa ini harus melakukan transformasi ke arah hilirisasi atau ke arah industrialisasi secara besar-besaran.

Pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan secara masif adalah kunci kesiapan pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Guna mencapai target 8 persen, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) telah menyiapkan rancangan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, salah satunya membangun transmisi untuk menyalurkan listrik dari pembangkit-pembangkit EBT ke pusat-pusat demand.


Kebutuhan gas

Selain soal listrik, Menteri ESDM juga menyinggung kebutuhan gas untuk menutupi kebutuhan 71 persen EBT. Indonesia membutuhkan sekitar 1.471 billion british thermal unit per day (BBTUD) sampai 2030.

Kebutuhan itu juga diproyeksikan akan naik pada tahun 2034, mencapai 2.659 BBTUD. Bagi Kementerian ESDM, menyangkut dengan gas, Indonesia agar tidak mengalami defisit dengan konsumsi domestik, maka dalam perencanaan tahun depan, seluruh konsesi gas yang ada di Indonesia harus lebih diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya energi dan bahan baku hilirisasi.

Komitmen Presiden Prabowo sesuai dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kekayaan alam dimaksud tentunya termasuk potensi energi terbarukan dan sumber daya mineral (utamanya gas alam).

Dalam konstitusi jelas diatur bagaimana negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur dan memanfaatkan sumber daya mineral, tanpa ada intervensi dari negara lain maupun organisasi internasional.

Melimpahnya kekayaan alam yang ada di Indonesia, nyatanya cadangan energi di Indonesia belum akan mampu mencukupi seluruh kebutuhan di masa mendatang.

Indonesia harus segera mengantisipasi cadangan energi, terutama pengganti minyak bumi. Untuk menjawab permasalahan tersebut, transisi energi harus segera digencarkan, selain energi Matahari dan air, penting memanfaatkan potensi gas alam yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu liquid natural gas (LNG) atau gas alam cair.

LNG memiliki banyak manfaat, di antaranya lebih ramah lingkungan, efisiensi dan efektivitasnya lebih tinggi, dan lebih rendah emisi.

Penggunaan LNG sudah banyak digunakan di negara-negara lain, tetapi di Indonesia masih perlu dimaksimalkan.

Problematika terjadi disebabkan masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam memanfaatkan LNG. Permasalahan yang terjadi, antara lain belum meratanya distribusi energi dan teknologi yang memadai.

Solusi dari permasalahan tersebut adalah memaksimalkan fungsi dari infrastruktur yang ada. Tidak dapat dipungkiri, tidak semua wilayah Indonesia dapat terhubung melalui pipa, sehingga peran teknologi kelautan sangat dibutuhkan.

Kolaborasi dan inovasi harus dilahirkan agar biaya pengeluaran dapat ditekan dan distribusi dapat lebih merata.

Terlepas dari banyaknya tantangan yang harus dihadapi Indonesia, bahwa pembaharuan bagi dunia energi di negeri ini merupakan sebuah keniscayaan.

Energi tidak hanya dinilai dari efisiensinya saja. Namun, esensi paling penting adalah menemukan energi dengan biaya yang murah, tetapi tetap ramah lingkungan.


Transisi energi

Dalam proses transisi energi, pemerintah akan melaksanakan beberapa program strategis, antara lain memperluas penggunaan gas sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk industri dengan mengembangkan infrastruktur transmisi dan distribusi gas yang terintegrasi.

Selain itu, konversi bahan bakar disel menjadi gas di pembangkit listrik dan mengembangkan fasilitas infrastruktur dan pengembangan jaringan pipa gas untuk rumah tangga (jargas) dan usaha kecil.

Secara umum masyarakat telah memiliki animo tinggi untuk beralih ke energi bersih, untuk segera meninggalkan energi fosil, seperti BBM dan PLTU.

Publik juga sudah mengenal ragam sumber energi terbarukan, terutama air (melalui PLTA), panel surya (PLTA), dan pemanfaatan bioenergi.

Dukungan masyarakat ini merupakan kabar baik, mengingat Indonesia sudah berkomitmen menurunkan emisi karbon 29 persen pada 2030, dan target emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060.

Sebagaimana pernah disampaikan Presiden Prabowo bahwa sekarang ini Indonesia telah menjadi salah satu di dunia, sebagai negara yang termasuk paling maju di bidang transformasi energi menjadi energi terbarukan yang mengurangi emisi karbon.

Pemerintah pun optimistis Indonesia dalam lima tahun ke depan mampu untuk swasembada energi dan tidak lagi mengimpor BBM. Karena itu, dalam waktu yang tidak lama, Indonesia tidak akan impor BBM lagi dari luar negeri. Presiden punya keyakinan, dalam lima tahun Indonesia tidak akan impor BBM lagi.

Optimalisasi pemanfaatan energi bersih bisa dibaca sebagai kontribusi besar Indonesia dalam penyelamatan Bumi dari pemanasan global, yang dampaknya sudah terasa akhir-akhir ini. Dan lagi keberhasilan program transisi energi juga akan menghemat pengeluaran masyarakat.

Salah satunya bisa dilihat dalam penggunaan kendaraan listrik, baik sepeda motor maupun mobil listrik, bisa menghemat pengeluaran hingga jutaan rupiah dalam lima tahun, dibandingkan kendaraan yang berbahan bakar minyak.

Penghematan itu, terutama sepeda motor listrik, selain harga terjangkau, biaya operasionalnya juga rendah.

Selain itu, partisipasi perusahaan atau sektor swasta dalam menggunakan energi bersih juga terus meningkat.

Sejumlah perusahaan dengan jenama besar sudah sepenuhnya menggunakan energi hijau, dalam proses produksi di Indonesia.

Pelanggan bisnis dan industri di Indonesia telah membeli daya listrik dari energi terbarukan hingga mencapai 1 terrawatt jam.

Ketertarikan masyarakat dan korporasi beralih ke energi bersih merupakan sentimen positif dan perlu direspons dengan baik, dan strategi yang tepat oleh pemerintah.

Energi turut menentukan geopolitik dunia. Penggunaan pembangkit energi hijau yang terus meningkat memunculkan kekuatan baru dalam geopolitik energi.

Setelah kesadaran untuk mengurangi pemanasan global dengan menekan emisi karbon meluas, penggunaan energi terbarukan meningkat.

Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menambah kapasitas pembangkit energi terbarukan. Pembangkit berbasis bahan bakar fosil (seperti PLTU), untuk sementara tetap dipakai, namun kontribusinya berusaha dikurangi.

Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo turut masuk dalam skenario global transisi energi skala besar.


*) Dr Taufan Hunneman adalah Dosen UCIC, Cirebon

Copyright © ANTARA 2025