Ramadhan tanpa libur sekolah agar ilmu dunia dan akhirat sama didapat

Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983, mendapat tentangan keras dari berbagai pihak, ...

Ramadhan tanpa libur sekolah agar ilmu dunia dan akhirat sama didapat

Jakarta (ANTARA) - Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983, mendapat tentangan keras dari berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh muslim, ketika ia memutuskan untuk menghapus libur sekolah sebulan penuh selama Ramadhan.

Alasan para penentangnya saat itu, peniadaan libur sekolah selama Ramadhan akan mengganggu pelaksanaan ibadah puasa. Dalam pandangan mereka, bulan puasa adalah momen untuk meningkatkan pendidikan agama melalui kegiatan seperti pesantren kilat dan pendidikan nonformal lainnya.

Sementara Daoed Joesoef berpendapat, sekolah pun juga ibadah sehingga bisa dijalankan sambil berpuasa. Ia berpegangan pada perintah pertama Tuhan kepada manusia. Iqra’, bacalah, yang diartikan sebagai perintah Tuhan kepada manusia untuk belajar.

Libur selama bulan puasa sudah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia sejak dulu.

Bahkan Perang Jawa pun libur saat puasa. Pangeran Diponegoro berpesan kepada Letnan Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Mercus de Kock melalui utusannya Jan Baptist Cleerens bahwa selama bulan puasa ia tidak akan melakukan pembicaraan apapun terkait perang. Pertemuan hanya dilakukan untuk silaturahmi saja. De Kock pun menyetujui hal itu.

Namun sikap manis pemerintah kolonial ini mempunyai maksud politis agar Diponegoro mau menyerah tanpa syarat. "Tujuan menghalalkan segala cara," demikian tulis Peter Carey, sejarawan dan penulis Inggris yang mengkhususkan diri dalam sejarah modern Indonesia, dalam "Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855".

Namun Pangeran Diponegoro tetap menolak untuk menyerah sehingga dua hari sebelum Lebaran pada 25 Maret 1830 ia ditangkap.

Demikian juga ketika Belanda pada 1930 memutuskan untuk meliburkan sekolah selama sebulan penuh saat bulan Ramadhan. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk mengambil hati umat muslim Indonesia dan menghindari perlawanan umat muslim terhadap kolonialisme Belanda.

Kembali ke masa kini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki wacana untuk meliburkan sekolah selama bulan Ramadhan. Kajian mendalam pun sedang dilakukan sebelum keputusan dibuat.

Ada yang mendukung rencana ini dengan alasan bulan puasa sudah selayaknya dimanfaatkan untuk memperbanyak ibadah dan mendalami ilmu agama. Anak-anak bisa memanfaatkan momen itu untuk mengikuti pesantren kilat misalnya, atau pendidikan nonformal lain yang berkaitan dengan ilmu agama.

Dalam hal ini, "libur" dipahami sebagai pergantian aktivitas yang dilakukan di luar sekolah formal. Jika pada hari-hari biasa anak-anak menjalani rutinitas pagi hingga siang atau sore belajar ilmu yang sifatnya umum di sekolah, maka selama libur Ramadhan mereka mengganti aktivitasnya dengan kegiatan memperdalam agama, misalnya dengan mengikuti pesantren kilat.

Bisa juga diisi dengan kegiatan untuk menggali minat dan hobi yang selama ini terabaikan, atau terlibat dalam kegiatan sosial untuk mengasah empati.

Meski demikian, tidak sedikit pula yang menolak wacana libur sekolah selama Ramadhan dengan dalih akan lebih sulit mengarahkan anak untuk melakukan hal-hal positif seperti yang dimaksudkan itu.

Mereka tidak ingin libur sekolah diartikan oleh anak-anak sebagai libur beraktivitas, setop bergerak dan memilih menjadi “kaum rebahan”. Aktivitas mereka akan bergeser ke sosial media, atau lebih parah lagi, mereka menyalurkan energinya untuk hal-hal yang tidak elok.

Ilmu dan nilai

Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika anak-anak tetap bersekolah saat bulan Ramadhan. Justru ini menjadi momen untuk mengintegrasikan ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Sudah selayaknya pembelajaran di sekolah itu tidak hanya berfokus pada penguasaan materi namun juga dikaitkan dengan nilai dan etika. Sebab, pengetahuan tanpa disertai dengan nilai tidak ubahnya berjalan sambil menutup mata.

Islam adalah agama yang sangat ilmiah. Untuk menentukan dimulainya bulan Ramadhan misalnya, ilmu astronomi dijadikan landasan.

Berbicara tentang embriologi manusia, proses pembuahan sel telur sudah dijelaskan dalam Al Quran, salah satunya dalam Surah Al Hajj. Bahkan hingga proses penuaan pun disinggung.

Bagi seorang Muslim, alam semesta adalah representasi dari kekuasaan Tuhan, terjemahan dari ayat-ayat Allah. Dalam setiap fenomena alam yang dilihat, bukan hanya dikaitkan dengan sains namun juga keyakinan bahwa ada kuasa Sang Pencipta di baliknya.

Nilai-nilai religius bisa ditanamkan ke anak didik melalui mata pelajaran baik eksakta maupun sosial. Pengintegrasian pendidikan umum dengan agama yang sedemikian diharapkan bisa menghasilkan generasi yang kreatif, cakap, beriman dan bertakwa kepada Tuhan.

Tentu saja, ini semua akan sangat bergantung pada kreativitas guru yang memiliki posisi kunci dalam proses pembelajaran.

Saat membahas terjadinya siang dan malam misalnya, guru bisa menyisipkan firman Allah dalam Surat Al An’am ayat 96 tentang peredaran matahari dan bulan yang digunakan untuk perhitungan waktu bagi manusia.

Ketika membahas hukum fisika soal es yang mengapung, guru mengajak siswa untuk melihat fenomena ini sebagai bentuk rasa sayang Allah kepada umatnya. Bagaimana fenomena ini justru menyelamatkan makhluk hidup dari kepunahan.

Atau ketika menjelaskan soal pembagian dan pecahan dalam Matematika, guru bisa menyisipkan Surat An-Nisaa’ yang membahas soal pembagian harta warisan, atau penerapan matematika dalam penghitungan zakat.

Di lain kesempatan, guru juga bisa menyinggung sejarah perkembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan muslim. Seperti Al- Khawarizmi sang penemu bilangan nol dan rumus akar persamaan kuadrat, penemuan sinus dan kosinus dalam trigonometri oleh Ibnu Jabbir Al-Battani, atau cerita tentang Ibnu Sina, bapak kedokteran dunia.

Sekali lagi, kunci dari model pembelajaran macam ini ada di tangan guru dan sekolah yang kreatif.

Dengan memasukkan nilai-nilai religius dalam setiap mata pelajaran, maka siswa diharapkan bukan hanya menjadi sosok yang hebat dalam ilmu dunia namun juga tidak gagap dalam ilmu akhirat.

Copyright © ANTARA 2025