Setahun Dokumenter Dirty Vote, Mengenal Kembali Istilah Politik Gentong Babi

Dalam dokumenter Dirty Vote setahun lalu, istilah politik gentong babi jadi sorotan. Apa itu?

Setahun Dokumenter Dirty Vote, Mengenal Kembali Istilah Politik Gentong Babi

TEMPO.CO, Jakarta - Setahun lalu, film dokumenter yang disutradarai Dandhy Laksono mengguncang diskursus politik Indonesia dengan mengungkap berbagai praktik politik yang menggunakan bantuan sosial (bansos) sebagai alat kampanye terselubung.

Salah satu konsep yang menjadi sorotan dalam film ini adalah pork barrel politics atau politik gentong babi, yang dijelaskan oleh ahli hukum tata negara, . Istilah ini kini semakin populer dalam berbagai diskusi politik di tanah air, terutama menjelang pemilihan umum.

"Mengapa bansos dijadikan alat berpolitik? Ada satu konsep dalam ilmu politik yang namanya politik gentong babi atau pork barrel politics," ujar Bivitri dalam film dokuemnter tersebut.

Apa Itu Politik Gentong Babi?

Politik gentong babi adalah praktik politik di mana dana negara dialokasikan untuk program-program tertentu di daerah pemilihan guna menarik simpati dan dukungan pemilih. Praktik ini lazim terjadi menjelang pemilu sebagai strategi mempertahankan kekuasaan atau meningkatkan elektabilitas seorang kandidat atau partai politik.

Konsep ini sebenarnya sudah lama dikenal dalam sejarah politik dunia. Istilah "gentong babi" berasal dari Amerika Serikat pada era perbudakan. Pada masa itu, pemilik budak menggunakan makanan yang disimpan dalam gentong sebagai iming-iming agar para budak bekerja lebih giat.

Mereka yang bekerja paling keras akan diberi akses lebih besar terhadap makanan tersebut. Seiring waktu, strategi ini berkembang menjadi praktik politik, di mana sumber daya negara digunakan untuk mendapatkan dukungan politik dengan cara yang serupa: memberikan insentif kepada pemilih agar mereka memilih petahana.

Dalam konteks politik Indonesia, menurut Bivitri, politik gentong babi dapat diamati dalam bentuk pembagian bansos yang dilakukan oleh pemerintah menjelang pemilu. Bantuan ini tidak jarang diberikan secara selektif ke daerah-daerah tertentu yang dianggap sebagai kantong suara strategis. Dengan demikian, politisi yang berkuasa mendapatkan keuntungan elektoral dari program bansos yang didanai oleh negara.

Dampak Politik Gentong Babi

Dalam praktiknya, diterapkan melalui berbagai program populis, seperti pemberian bantuan tunai langsung, distribusi bantuan pangan, hingga percepatan pembangunan infrastruktur menjelang pemilu. Meskipun tampak memberikan manfaat bagi masyarakat dalam jangka pendek, praktik ini sebenarnya membawa dampak negatif terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat.

Anggaran negara yang seharusnya dikelola secara adil dan transparan sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral, tanpa mempertimbangkan pemerataan dan keberlanjutan program. Hal ini mengarah pada ketimpangan dalam distribusi kebijakan sosial, di mana bantuan lebih banyak dialokasikan ke wilayah yang dianggap memiliki potensi suara, sementara daerah lain terabaikan.

Selain itu, praktik ini juga merusak integritas demokrasi, karena penerima bantuan cenderung merasa terikat untuk memilih petahana bukan berdasarkan kebijakan atau kompetensinya, melainkan karena manfaat langsung yang mereka peroleh. Akibatnya, objektivitas pemilih menjadi kabur dan persaingan politik yang sehat melemah.

Tak hanya itu, keterkaitan antara alokasi dana bantuan sosial dan kepentingan politik meningkatkan risiko korupsi dan nepotisme. Penyimpangan seperti penggelembungan anggaran atau penyaluran yang tidak transparan sering kali terjadi, memperburuk akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.

Imam Hamdi dan Yolanda Agne berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: