Tarif Air Bersih di Rusun Jakarta Naik 71 Persen, Warga: Sarat Masalah Hukum hingga Asas Keadilan

Masalah utama tarif baru adalah kekeliruan penetapan golongan apartemen/rusun disamakan gedung bertingkat komersial, kondominium, dan pusat belanja.

Tarif Air Bersih di Rusun Jakarta Naik 71 Persen, Warga: Sarat Masalah Hukum hingga Asas Keadilan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI menunda Kenaikkan Tarif Air Bersih di rumah susun (rusun).

Pasalnya, kenaikan tarif air bersih oleh PAM Jaya sarat akan persoalan hukum, masalah dasar hitung hingga asas keadilan sosial.

Baca juga:

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) P3RSI, Adjit Lauhatta mengatakan, kenaikkan Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya di rumah susun melonjak 71 persen.

"Tarif baru layanan air bersih dinilai sangat memberatkan," katanya saat talkshow  bertajuk Anggota P3RSI Teriak Tarif Air Bersih Rumah Susun/Apartemen Disamakan dengan Gedung Bertingkat Komersial?” yang diselenggarakan oleh Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI).

Adjit meminta Pj Gubernur mencabutan Keputusan Gubernur 730 tahun 2024 yang memicu kenaikan dari Rp 12.550/m3 ke Rp 21.500/m3 tersebut.

Dikatakannya, masalah utama tarif baru adalah kekeliruan penetapan golongan apartemen/rusun karena disamakan dengan gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan.

Dalam kesempatan sama, anggota Komisi B DPRD Provinsi DKI Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Francine Widjojo menyoroti adanya cacat hukum dalam kenaikan ini.

“Tidak lelah-lelahnya kami menjelaskan kembali bahwa air bersih dan air minum merupakan dua komoditas berbeda dan tidak bisa dikenakan tarif yang sama,” ujarnya.

Francine mengutip Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut bahwa air minum merupakan air yang siap untuk diminum dan memenuhi syarat kesehatan tertentu.

“Pj. Gubernur pasti mengetahui kalau belum sepenuhnya menyalurkan air minum, melainkan air bersih. Jadi kenaikan menggunakan Kepgub 730/2024 bertentangan dengan peraturan yang berlaku," katanya. 

Untuk itu, kata dia Pj. Gubernur harus segera mencabut Kepgub 730/2024 karena memiliki cacat hukum dalam penerbitannya sekaligus wujud kepastian hukum dan keadilan sosial bagi masyarakat yang tinggal di .

Dikatakannya, selain kirim surat kepada Pj Gubernur DKI terkait untuk pencabutan, ia mengirimkan surat kepada Badan Pembentukan Peraturan Daerah  DPRD Provinsi DKI untuk melakukan fungsi pengawasan Peraturan Gubernur DKI Nomor 37 Tahun 2024 yang mengatur tentang tata cara perhitungan dan penetapan tarif air minum . 

"Hal ini agar implementasi Pergub 37/2024 berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat, khususnya akibat kenaikan yang melebihi tarif batas atas air minum dan salahan klasifikasi pelanggan hunian yang ditempatkan dalam kelompok pelanggan industri dan niaga," kata Francine.

Dikatakan Francine, sesuai ketentuan Tata Tertib DPRD Provinsi DKI , Bapemperda dapat melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan gubernur.

Dirinya menerima aduan masyarakat penghuni apartemen yang memprotes alasan bahwa kenaikan tarif air dikarenakan selama 17 tahun tidak pernah naik sedangkan para penghuni apartemen dan kondominium justru dirugikan karena selama 17 tahun kelebihan membayar akibat kesalahan klasifikasi pelanggan. 

"Seharusnya tarif dasar kelompok K II untuk hunian, namun dikenakan tarif penuh kelompok K III yang setara dengan tarif air minum di hotel dan mal,” kata Francine.(Eko Sutriyanto)