5 Perbedaan Pemangkasan Anggaran ala Prabowo Vs Jokowi
Sejumlah perbedaan pemangkasan anggaran di era Prabowo pada 2025 dan Jokowi pada 2016, mulai dari jumlahnya hingga tujuannya.
TEMPO.CO, Jakarta - kementerian dan lembaga negara (K/L) pada awal 2025 bukan yang pertama kali terjadi. Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau sebelumnya pernah melakukannya pada 2016, ketika Sri Mulyani Indrawati ditunjuk menjadi Menteri Keuangan, untuk menggantikan Bambang Brodjonegoro.
Namun, kebijakan yang ditetapkan Presiden Subianto melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 mempunyai beberapa perbedaan.
Sementara itu, peraturan soal penghematan anggaran yang diteken oleh Jokowi tertuang dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-Langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Lantas, apa saja perbedaannya?
Perbedaan Pemangkasan Anggaran ala Prabowo Vs Jokowi
Berikut sejumlah perbedaan kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan Prabowo dan Jokowi:
1. Sasaran
Dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2016, Jokowi menyasar penghematan dan pemotongan belanja di K/L. Sementara itu, Prabowo dalam Inpresnya mengharapkan efisiensi belanja yang tidak hanya dilakukan di K/L, tetapi juga mencakup APBD.
2. Metode Penghematan
Pada 2016, penghematan anggaran diusulkan karena penerimaan negara yang jauh dari target. Untuk meredam pelebaran defisit, Jokowi memilih mengurangi belanja. Dia membekukan APBN, sehingga programnya tetap ada, tetapi anggaran tidak dicairkan melalui blokir mandiri (self blocking).
Sementara itu, Prabowo menginginkan menteri dan pimpinan lembaga untuk menyampaikan hasil identifikasi rencana efisiensi anggaran kepada mitra Komisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian, menyampaikan usulan revisi anggaran berupa blokir anggaran sesuai besaran efisiensi yang telah mendapatkan persetujuan tadi ke Menteri Keuangan.
3. Jumlah Anggaran yang Dihemat
Dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2016, Jokowi menargetkan penghematan sebesar Rp 50 triliun. Sementara Prabowo, menginginkan pemangkasan sebesar Rp 306,6 triliun yang terdiri dari Rp 256 triliun di K/L dan Rp 50,5 triliun dari dana transfer ke daerah.
4. Tujuan
Target penghematan yang dilakukan Jokowi bertujuan untuk mengamankan APBN dengan menghemat seluruh pengeluaran yang bisa ditekan di K/L, tanpa kecuali. Sementara Prabowo berusaha memotong anggaran supaya bisa membiayai program-program prioritas, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
Itu sebabnya, anggaran K/L nontinggi negara di era Prabowo terkena dampak, sedangkan Kementerian Pertahanan (Kemhan), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Badan Gizi Nasional (BGN) tidak terkena kebijakan tersebut.
“Dan penggunaan anggaran akan ditujukan kepada langkah-langkah yang memang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat langsung, seperti Makan Bergizi Gratis, swasembada pangan, energi, dan perbaikan di sektor kesehatan,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers Hasil Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Triwulan I Tahun 2025 di Jakarta, Jumat, 24 Januari 2024, seperti dipantau dari akun YouTube Bank Indonesia (BI) Channel.
5. Pemangkasan yang Dikecualikan
Jokowi melalui Inpres Nomor 4 Tahun 2016 mengecualikan penghematan dan pemotongan belanja K/L terhadap anggaran yang bersumber dari pinjaman dan hibah. Kemudian, anggaran yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Layanan Umum (PNBP-BLU).
Sementara itu, Prabowo menambah sumber anggaran yang dikecualikan dari efisiensi menjadi empat, meliputi anggaran yang bersumber dari pinjaman dan hibah, Rupiah murni pendamping kecuali tidak dapat dilaksanakan hingga akhir tahun anggaran 2025, anggaran dari PNBP-BLU kecuali yang disetor ke kas negara tahun anggaran 2025, serta anggaran yang bersumber dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan menjadi underlying asset dalam rangka penerbitan SBSN.
Khairul Anam berkontribusi dalam penulisan artikel ini.